Rabu, 14 September 2011

Restorasi kasultanan Surosowan: PANGERAN SUROSOWAN : SEBAKINGKIN / MAULANA HASANUD...

Restorasi kasultanan Surosowan: PANGERAN SUROSOWAN : SEBAKINGKIN / MAULANA HASANUD...


BABAD SUROSOWAN 4
PENAKLUKKAN FATAHILLAH DAN HASANUDDIN.
SEJARAH KASULTANAN SUROSOWAN BANTEN DARUSSALAM
ASAL-USUL
Sedikit di ketahui bagian sejarah dari Jawa Barat, wilayah Sunda, termasuk peranan Banten, terutama berhubungan dengan periode awal masuknya Islam.
Kesimpulan sementara tanda masuknya Islam ke Banten dan Jawa Barat di hubungkan dengan perantaraan dari masa kerajaan besar maritim Sriwijaya, yang waktu itu menguasai sepenuhnya Selat Sunda antara Sumatera dan Jawa, bahkan hingga seluruh Semenanjung Melayu.
Di abad 14 masehi mulai menonjol keberadaan kerajaan besar Sunda Pajajaran, yang beribukota di Pakuwan, yang kini di temukan di sekitar wilayah Bogor.
Kerajaan besar Sunda
Setelah kerajaan besar Sriwijaya berbalik menguasai kerajaan Cola penguasa Srilangka dan India, di abad 14 m., kekuasaan Sriwijaya runtuh di rebut kerajaan besar Mojopahit. Hingga di Asia Tenggara kerajaan besarnya tinggal hanya Mojopahit dan Pajajaran, setelah Sriwijaya kandas. Di utara Asia Tenggara, teman kerajaan besarnya adalah kasultanan Pahang di Siam, kemudian menjadi rival Malaka yang baru muncul jadi kerajaan.
Terdapat catatan dari Sejarah Cirebon, terdapat Da’i-da’i guru besar Islam yang telah terdapat di Jawa Barat, di antaranya Syekh Kuro yang mendirikan perguruan Islam di sekitar Jawa Barat, yang kemudian menjadi wilayah Krawang.
Dari sejarah perjalanan Syekh Sunan Maulana Malik Ibrohim dari Mandailing, sesepuh Wali Songo tersebut pertama di Jawa tiba di Banten. Bahkan Syekh Sunan Maulana Malik Ibrohim sempat tinggal dan mengajar di Banten.
Tempat Sunan Maulana Malik Ibrohim mengajarkan Islam, kemudian di monumenkan di salah satu ruangan sekitar masjid Agung Banten.
Penerus dinasti kerajaan besar Pajajaran penguasa Sunda adalah kasultanan Surosowan Banten Darussalam yang berkembang lebih besar dari kerabatnya, kasultanan Cirebon.
Hingga kini wilayah kekuasaan kasultanan Ageng ( kekaisaran Darussalam ) Surosowan Banten termasuk terbesar di Indonesia, meliputi 4 propinsi, yang kini di temukan sebagai Propinsi DI Banten, DKI Jakarta-Ibukota Indonesia, Jawa Barat, dan Lampung. Sedangkan kasultanan Cirebon kini wilayahnya cuma satu kota Cirebon, juga kasultanan Mataram di kota Yogyakarta atau satu propinsi DIY setelah pengaruh perjanjian Giyanti sejak abad 17 m.
Seperti sabda baginda Nabi Muhammad SAW., “ Bayarlah hak masing-masing!”
Penelitian di mulai di situs Banten Girang pada tahun 1988 selama program penggalian Franco-Indonesia telah membuka titik petunjuk sejarah Banten.
Meskipun terbatas alam penelitian, beberapa fakta baru tersingkap. Demikian mencapai penyelesaian pada Banten dapat di data lebih awal dari kesimpulan asal sejak bukti telah di temukan untuk membuktikan keberadaannya menelusuri awal abad 11-12 masehi.
Banten pada masa itu telah menjadi wilayah perkotaan yang penting; telah di kelilingi oleh benteng dan di topang beberapa seniman berketerampilan teknik yang membuat produksi artileri kesatuan perang, perhiasan, dan pertunjukkan berupa barang-barang jajaran meliputi kain hingga tembikar, dari pemanfaatan unsur logam yang pelaksanaannya terbuat dari pokok besi dan perunggu; seperti perhiasan emas dan manik-manik kaca.
Koin-koin telah di gunakan dan paling berarti, hubungan internasional telah di jalin dengan Cina, Semenanjung Indocina, dan di segala kemungkinan anak benua India.
Nampaknya belum ada kesimpulan tuntas yang dapat di pastikan sebelum mendapatkan penyelidikan lengkap, tetapi peradaban kuno Banten yang didapati keberadaannya melalui bermacam kesangsian, yang mengajukan pendapat sementara, bahwa pelabuhan internasional muncul di dalam kedatangan dinasti muslim, tidak lagi dapat di pertahankan.
Dokumen Portugis memperlihatkan tambahan petunjuk mengenai situasi di Banten dan sekeliling wilayahnya pada permulaan abad 16 m., sekitar 15 tahun sebelum kaum muslim datang berkuasa.

SULTAN SUROSOWAN I, PANGERAN MAULANA HASANUDDIN MENGGENAPI WILAYAH BANTEN DENGAN MENAKLUKKAN PRABU PUCUK UNUM DI BANTEN GIRANG ( BANTEN SELATAN ).
Setelah di bantu Panglima Demak, Fatahillah, yang sesuai amanat dari ayahanda Ki Sunan Gunung Jati menyerahkan tampuk takhta Sultan Banten pada putera sulungnya, Pangeran Sebakingkin Maulana Hasanuddin, wilayah kerajaan Banten baru mencakup sekitar wilayah Banten Utara.
Menurut Valentijn, Sultan Demak III, Raden Trenggono menghadiahkan satu meriam bernama Ki Jimat kepada Hasanuddin Banten sewaktu pernikahannya dengan puteri ketiganya. Sultan Maulana Hasanuddin menjadi menantu ketiga Sultan Trenggono.
Jejak pertama meriam yang juga di namai Ki Amuk terdapat di satu peta kota Banten yang di buat sebelum pertengahan abad ke-17 dan sekarang tersimpan di Perpustakaan Castello di Firenze, Italia.
Pada peta tersebut tercatat meriam besar “t’Desperant”, yang oleh K.C Crucq di anggap sebagai terjemahan dari “Ki Amuk.”
Pada mulut meriam itu terdapat gambar bintang berujung delapan, yang kadang-kadang di namakan “ Mentari Mojopahit” yang juga terdapat di atas nisan-nisan Troloyo abad ke-14 dan ke-15, dan hal ini menunjukkan asal-usul dan masanya: Jawa Tengah pada pertengahan abad ke-16.
Maka meriam Ki Jimat Banten sama dengan Ki Amuk dan di perkirakan tanggalnya adalah 1450 Saka, yakni 1528/9 AD, yang kiranya sesuai dengan tahun pernikahan Hasanuddin serta dengan sebuah candrasengkala yang di baca Crucq dalam formula ‘akibatu ‘l-khoiri yang dapat di terjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebagai wekas ing sukha.
Menurut Mendes Pinto sewaktu perang Demak melawan Panarukan ( Pasuruan ), sejumlah meriam-termasuk yang berukuran besar bernama ledes, kira-kira sebesar Ki Amuk –di cor untuk pertempuran tersebut oleh orang-orang Turki dan Aceh yang di pimpin oleh seorang kepala ( sebenarnya kata mestre dalam bahasa Portugis tidak berarti “kepala” melainkan “empu” atau master atau maesto ), seorang pembelot Portugis yang masuk Islam, bernama Koja Zainal.
Maka Crucq sampai pada kesimpulan bahwa meriam yang ada di Banten kemungkinan di cor oleh para pembelot Portugis mualaf tersebut.
Setelah kekuasaan Demak melemah, dengan tewasnya bapak mertuanya, Sultan Trenggono, Sultan Maulana Hasanuddin pun memerdekaan kasultanan Banten terlepas dari kekuasaan Demak.
Di Demak sepeninggal Trenggono ( Tung-ka-lo ), terjadi perang saudara perebutan kekuasaan antara Sunan Prawoto ( Muk-Ming ) dan Pangeran Seda Lepen ( Raden Kikin ), pamannya, adik lain ibunya Raden Trenggono.
Kematian Pangeran Seda Lepen di pertarungan bersenjata di sungai, meninggalkan bekas dendam puteranya, Dipati Jipangkang Panolan, Haryo Penangsang.
Haryo Penangsang membalas dendam dan berhasil mendesak Sunan Prawoto hingga terbunuh di Semarang.
Haryo Penangsang dan pasukan Jipang Panolan membumihanguskan kota Demak.
Perang gono-gini antar wangsa Demak membuat Ki Sunan Gunung Jati yang telah berusia 109 tahun memanggil Bupati Jayakarta, Fatahilah yang sama berusia tua, ke Cirebon dengan dalih uzurnya Ki Sunan Gunung Jati.
Padahal alasan dibaliknya adalah untuk membantunya membuat benteng dari serangan membabi-buta pasukan Senopati Haryo Penangsang yang hendak memonopoli kekuasaan di Jawa.
Ki Fatahilah juga di panggil untuk meneruskan pemerintahan sementara di Cirebon, sambil membantu mempersiapkan cucu Ki Sunan Gunung Jati, putera almarhum Pangeran Pasarean meneruskan takhta Sultan Cirebon.
Pangeran Pasarean ialah keturunan Ki Sunang Gunung Jati dari isterinya puteri Sunan Ampel atau Raden Rahmat putera Ki Sunan Gresik Maulana Malik Ibrohim dan puteri Sultan Anom di Campa/Kamboja. Makanya kemudian juga menjadi dinasti Sultan kannoman Cirebon.
Sepupu Pangeran Sunan Prawoto, Dipati Pangeran Kalinyamat juga di bunuh Haryo Penangsang. Hal itu membuat Nyai Kalinyamat bersumpah untuk membalas kematian suaminya yang di bunuh semena-mena oleh Haryo Penangsang. Sumpahnya di barengi sayembara bagi siapa yang membantunya maka akan di berikannya hadiah layak.
Nyai Kalinyamat kemudian bertapa di Gunung Danaraja, sambil menunggu upaya membalas pada Haryo Penangsang terwujud.
Adik ipar Sultan Surosowan I Maulana Hasanuddin, menantu ke empat Trenggono di Jawa Tengah, Dipati Pajang Joko Tingkir mendengar sayembara Nyai Kalinyamat.
Dipati Joko Tingkir termasuk menantu Raden Trenggono terkuat, di samping Sultan Hasanuddin yang berkedudukan di Banten Darussalam. Sultan Hasanuddin tengah sibuk menggenapi kekuasaan Banten ke Banten Selatan menghadapi Prabu Pucuk Unum.
Pangeran Tubagus Angke dari Cirebon yang di angkat sebagai bupati Jayakarta oleh Ki Fatahilah, di beri wejangan oleh Ki Fatahilah untuk bersiap siaga menjaga pertahanan kota Jayakarta.
Pangeran Tubagus Angke yang di angkat oleh Bupati Fatahillah menjadi Bupati Jayakarta, juga di angkat sebagai menantunya Sultan Maulana Hasanuddin.
Setelah Ki Sunan Gunung Jati mangkat dalam usia 109 tahun, tak lama menyusul Ki Fatahilah, dan keduanya di makamkan berdekatan di Gunung Sembung, Cirebon.
Keadaan itu membuat Kasultanan Surosowan Banten mengambil alih kekuasaan atas kota Jayakarta, di samping karena kasultanan Surosowan Banten berkembang lebih besar dari kerabatnya di Cirebon yang menggantikan orangtuanya, Ki Sunan Gunung Jati.
Faktor lainnya adalah letak geografis kota Jayakarta yang berjarak lebih dekat dengan kasultanan Surosowan Banten Darussalam.
Sultan Maulana Hasanuddin memiliki khittah untuk meluaskan wilayah kasultanan Surosowan Banten, menggantikan kejayaan yang telah di capai kakeknya, almarhum Prabhu Siliwangi yang pernah meluaskan wilayah keprabhon Hindu Pajajaran,hingga terbentang di segenap tanah Sunda, hingga Jepara, dan Mertasinga ( Singapura ).

Alasan utamanya adalah untuk menguasai wilayah perdagangan rempah-rempah. Membuat kasultanan Surosowan Banten menjadi negeri kasultanan yang kaya-raya dan kuat disegani.
Di Banten Selatan terdapat Prabu Pucuk Unum yang memerintah kerajaan Banten Girang.
Di samping dalih mengislamkan segenap tanah Banten, Sultan Maulana Hasanuddin juga mengincar wilayah Banten Selatan, untuk mengutuhkan kekuasaan kasultanan Banten di segenap wilayah Banten.
Sejak Masjid Banten di bangun oleh Raden Mojopahit, dan Sultan Surosowan I menamai wilayah Mojo di dekat komplek kasultanannya, nampak khittahnya sejak abad 15 m., ingin menjadikan kasultanan Surosowan Banten Darussalam sebagai pengganti kejayaan Mojopahit dan Pajajaran, yang sama berpusat di Jawa.
Setelah utusan Maulana Hasanuddin ditolak maksudnya mengajak masuk Islam oleh Prabu Pucuk Unum, Sultan Hasanuddin pun mengerahkan pasukan Surosowan mengepung Banten Girang.
Di wilayah gunung perbatasan, Sultan Maulana Hasanuddin menyiapkan orang-orangnya dan memperbolehkan masuk pengungsi dari Banten Girang yang ingin menyelamatkan diri.
Karena Prabu Pucuk Unum tetap menolak menyerah, Sultan Hasanuddin menantang duel adu kesaktian dengan Prabu Pucuk Unum.
Syaratnya bila kalah, maka Prabu Pucuk Unum mesti menyerahkan wilayah Banten Girang pada kasultanan Surosowan Banten.
Prabhu Pucuk Unum berhasil di kalahkan Sultan Maulana Hasanuddin.
Wilayah orang-orang suku Baduy menyatakan sebagai wilayah netral. Ada sebagian yang masuk Islam, ada yang tetap beragama Hindu atau meneruskan tradisinya. Dan di bolehkan oleh Sultan Banten.
Hikmat cerita ini adalah, bahwa pemimpin/kepala negara yang zolim/menzolimi, yang lebih dulu di lawan. Serta syariatnya, umat Islam,di haramkan mengangkat pemimpin / kepala negaranya yang bukan beragama Islam.
Dan sifat penaklukkan Sultan Maulana Hasanuddin bukanlah penjajahan seperti yang di lakukan oleh bangsa Spanyol atau Eropa terhadap suku Indian di benua Amerika, di mana terjadi penjarahan HAM dan pembantaian sewenang-wenang terhadap bumiputera suatu suku bangsa di tanah airnya. Tapi Sultan Banten tetap menghargai HAM bumiputera suku Baduy, yang seperti pribumi suku Indian di tanah Sunda, atau suku Dayak di Kalimantan, atau suku Koeboe di Sumatera.
Suatu ketika di Banten muncul wabah malaria yang mengenai sebagian penduduk Banten. Sultan Maulana Hasanuddin pun mendatangi seorang ahli tabib Cina.
Tabib Cina tersebut menyanggupi untuk mengobati penduduk Banten dari Malaria, dengan mengajukan syarat pengikutnya orang-orang Cina di berikan wilayah permukiman di Banten, dan di bolehkan bebas menganut agama kepercayaannya di wilayah permukiman tersebut.
Sultan Maulana Hasanuddin menerima perjanjian tersebut, maka di buatlah kota Pecinan.
Di Kota Pecinan, penduduk Cina membangun kuil-kuil tempat sembahyangnya.
Ada pula sebagian yang masuk Islam dan mendirikan masjid Pecinan di kota Pecinan.
Tujuan Sultan Maulana Hasanuddin untuk menguasai wilayah perdagangan rempah-rempah membuatnya mempersiapkan pengiriman pasukannya ke wilayah Sumatera. Sasaran awalnya adalah wilayah Lampung yang luas dengan wilayah agrarisnya.
Sultan Maulana Hasanuddin berhasil menguasai sebagian besar wilayah Lampung, yang kemudian di namai wilayah Tulangbawang – Banten ( info dari Raja Lampung kecil : perwira polisi Edwardsyah ), sementara di sisi barat, eksedisi pasukan kasultanan Aceh Darussalam gagal menguasai kerajaan Bengkulu. Dari sudut sejarah ini memperlihatkan bahwa wilayah Sumatera Selatan sebagian besar telah di kuasai kasultanan Surosowan Banten Darussalam.
Seperti di ketahui, bentuk bawang adalah seperti sorban orang-orang Banten Darussalam dulu, Mesir, dan Abbasiyah. Di Banten pun terdapat wilayah bernama Balaraja, di Tangerang kini. Balaraja berasal dari nama kota Karbala, di Irak, tempat syahidnya sayidina Husein ra., dan puteranya Hasan ra., dzurriyah cucu-cucu nabi Muhammad SAW.
Dari realita sejarah tersebut dapat terlihat walau status kasultanan Surosowan Banten adalah Darussalam, tapi juga melakukan aksi-aksi ekspedisi perluasan wilayah, hingga ke luar pulau Jawa, hampir seperti leluhurnya Mojopahit dan Pajajaran.

SULTAN MAULANA HASANUDDIN DI GANTIKAN SULTAN SUROSOWAN II, TUBAGUS MAULANA YUSUF.
Sepeninggal Maulana Hasanuddin pada takhta Sultan Surosowan pertama, di angkat salah satu puteranya Tubagus Maulana Yusuf sebagai Sultan Surosowan II Banten Darussalam.
Di masa abad 15 m., itu pun penyandang gelar kasultanan Darussalam hanya Aceh Raya dan Surosowan Banten, belum lahir Sultan Brunai Darussalam.
Pajang yang di susul Mataram ( pada masa Sultan Ageng Surosowan XIII , Tirtayasa ) menjadi kasultanan pun tidak menyandang gelar kasultanan Darussalam.
Sultan Maulana Yusuf juga meneruskan misi ayahandanya untuk menggenapi kekuasaan kasultanan Surosowan Banten di segenap tanah Sunda. Gerbangnya setelah kerajaan Prabu Pucuk Unum di taklukkan Maulana Hasanuddin adalah biang kerajaan Sunda, yakni Pakuan Pajajaran yang beribukota di Pakuan/ Bogor kini.
Dengan upaya penaklukkan Pakuan Pajajaran sebagai keprabon/kekaisarannya Sunda penguasa kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Sunda, sudah menjadi tanda kedaulatan penguasaan tunggal kasultanan Surosowan Banten sebagai Kaisar-Sultan baru seluruh wilayah Sunda.
Bukan hanya Pakuan Pajajaran, bahkan di dapat dari data sejarah, kasultanan kannoman Cirebon pun lama-kelamaan berganti menjadi protektorat bawahan pengaruh kekuasaan kasultanan ageng Surosowan Banten Darussalam.
Maulana Yusuf mengerahkan pasukan Surosowan mengepung kerajaan Pakuan Pajajaran dari berbagai penjuru, hingga berhasil merebut kerajaan Pajajaran terakhir dan menggulingkan Prabu Pakuan Pajajaran terakhir.
Seperti kakeknya dari Demak, Raden Patah Jimbun, ayahandanya Maulana Hasanuddin yang ulung sebagai sang penakluk perluasan wilayah kasultanan Surosowan Banten dan ahli siasat militer yang berhasil, gelar Panembahan Senopati pun juga melekat pada Maulana Yusuf.
Kasultanan Surosowan Banten Darussalam telah menjadi kasultanan yang kaya-raya dan setingkat kekaisaran, sejak puncak pemerintahan Sultan Surosowan I Maulana Hasanuddin, di tambah dengan kemenangan gemilang Sultan Surosowan II Maulana Yusuf menguasai Pakuan Pajajaran keprabon Hindu terakhir di Negeri Sunda, berbanding kerajaan-kerajaan kecil yang tersisa di Sunda yang otomatis jadi manut sebagai kerajaan-kerajaan bawahannya Kekaisaran / Kasultanan ageng Surosowan Banten Darussalam.
Di Jawa Tengah, Raden Ngabehi Saloring Pasar atau Sutawijaya, pewaris Mataram Pemanahan menentang bapak angkatnya, Sultan Pajang Hadiwijaya ( Senopati Joko Tingkir ).
Raden Ngabehi Saloring Pasar yang baru di tinggal wafat ayahandanya, Ki Gede Pemanahan tidak sudi Mataram di bawah kekuasaan Sultan Pajang.
Sutawijaya kerap merenung di sekitar pesisir laut selatan, memikirkan siasat bagaimana menghadapi bapak angkatnya yang perwira kuat digjaya, turunan kakeknya Senopati Mojopahit yang saktidigjaya masa Kertabhumi, Dayaningrat.
Bagaimana tidak kesal, kakeknya dulu Prabhu Brawijaya Mojopahit Raja majikannya si Jenderal Dayaningrat, kemudian cucunya mentang-mentang regenerasi perwira militer tukaran menguasainya sebagai bawahannya sedari anak Raja Mojopahit.
Sutawijaya merasa kesal hak ( privilisasi ) asal-usul istimewa kedaerahannya sebagai cucu Prabhu Mojopahit malah di zolimi jatahnya oleh turunan Jenderalnya. Bahkan rasa kesalnya di tambah ia mesti juga seba / membayar pajak atau upeti saban waktu dari hasil wilayah Mataramnya pada Sultan Pajang Hadiwijaya, dan keluarga dan pembesar Pajang, tanpa ia menikmati kecukupan hasil bumi daerah kebangsawannya sendiri. Tidak memberi rasa keadilan baginya.
Sutawijaya jadi kerap membangkang membayar pajak pada Kepala Negaranya Sultan Hadiwijaya.
Ketegangan dengan Hadiwijaya terdengar oleh Ki Sunan Tembayat, Wali gurunya Sutawijaya. Ki Sunan Tembayat memberikan usulan pada Sutawijaya untuk membangun benteng melingkupi Mataram.
Usulan Ki Sunan Tembayat juga di rundingkan Sutawijaya dengan Ki Juru Mertani, teman seperjuangan dirinya dan bapaknya almarhum Ki Gede Pemanahan sejak lama. Ki Juru Mertani sudah seperti sesepuh/orang tua kedua sebenarnya Sutawijaya pengganti Ki Gede Pemanahan, di samping Hadiwijaya.
Hal pembangkangannya membuat Hadiwijaya mengirimkan utusannya ke Mataram. Apalagi dari mata-matanya Hadiwijaya mendengar bahwa Mataram mulai membangun benteng.
Utusan yang tiba di Mataram menemui Sutawijaya duduk di atas kudanya. Utusan Hadiwijaya menyampaikan perintah Hadiwijaya.
Tapi di jawab Sutawijaya, “ Katakan pada Romo Hadiwijaya, kalaupun aku tidak mencukur rambutku, adalah urusanku, biar beliau memeriksa kelakuannya sendiri, sudah benar atau belum?” Sebaiknya beliau memeriksa kelakuannya berlaku adil memberikan jodoh pada segenap penduduknya, bukannya malah menyusahkan.”
Sutawijaya kemudian hari malah sengaja membuat ulah menghadang kepala-kepala daerah yang hendak menyerahkan upeti pada Hadiwijaya di tengah jalan. Upeti yang tadinya mau di serahkan pada Hadiwijaya sebagian di buka.
Dipati yang di hadang di belokkan menuju Mataram, dan di jamu serta di ajak berpesta oleh Sutawijaya di Mataram, di ajak menikmati hasil kekayaan wilayahnya sendiri. Hingga sebagian Dipati yang mau di ajak Sutawijaya jadi suka bekerjasama dengannya.
Hadiwijaya kemudian bersiasat mengundang Dipati-dipati pengikut setianya. Dipati-dipati tersebut adalah pilihan yang memiliki kesaktian tinggi. Dipati-dipati itu di kirim Hadiwijaya untuk membunuh Sutawijaya, di antaranya Dipati Tuban.
Hadiwijaya tidak mungkin memanggil Dipati dari Banten, karena aliran Sultannya saja sudah bertentangan dengan Hadiwijaya yang beraliran Syi’ah. Apalagi Sultan Banten adalah kakak iparnya yang tidak mungkin mudah di ajak bersekutu dibawahinya. Dan satu hal lagi, orang-orang Tuban adalah Jawa Timuran yang sama seasal dengan Hadiwijaya / Joko Tingkir cucunya Dayaningrat, senopati Mojopahit di jaman Prabhu Brawijaya Kertabhumi.
Setiba di Mataram, para utusan Hadiwijaya di terima Sutawijaya. Sutawijaya menjamu dengan sajian pesta dan tarian.
Dalam sajian tarian, utusan Hadiwijaya mulai memperlihatkan tajinya untuk memancing duel dengan Sutawijaya, tapi Raden Rangga putera sulungnya Sutawijya yang naik ke podium mewakili.
Dari tarian, pendekar Tuban memancing adu kanuragan dan di layani Raden Rangga, hingga beberapa jurus pendekar Tuban di pecahkan kepalanya, langsung tewas seketika.
Kejadian itu membuat utusan Hadiwijaya mundur kembali menghadap Hadiwijaya.
Tapi Sutawijaya malah memarahi Raden Rangga, karena berbuat sombong memperlihatkan kemampuannya. Raden Rangga merasa tidak bersalah dengan apa yang di lakukannya mendebat bapaknya. Sutawijaya pun mengusir Raden Rangga.
Sutawijaya khawatir dengan kejadian tersebut malah dapat memperuncing ketegangan dengannya dan Hadiwijaya. Sutawijaya tahu Hadiwijaya memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, tapi juga perlu mengulur stamina usianya. Untuk menghadapinya di waktu yang tepat.

Suatu ketika Raden Mayang ketahuan berasmara dengan puterinya Hadiwijaya hingga hamil. Hadiwijaya memerintahkan penangkapan Bupati Mayang, sedangkan Raden Mayang di hukum mati. Bapaknya Bupati Mayang di perintah untuk di jebloskan ke sel.
Bupati mayang juga bapak mertuanya Sutawijaya. Di tengah jalan, Sutawijaya bersama pasukan Mataram menghadang pasukan Pajang yang menggiring Bupati Mayang. Sutawijaya kemudian membebaskan Bupati Mayang.
Peristiwa aksi Sutawijaya membebaskan Bupati Mayang semakin membuat amarah Hadiwijaya memuncak. Aksi Sutawijaya kali ini tidak dapat lagi di tolerir Hadiwijaya.
Hadiwijaya mengerahkan pasukan Pajang menggempur Mataram. Puteranya Raden Benowo di angkat memimpin pasukan garis depan.
Hadiwijaya menunggangi gajah, seperti tunggangan Prabhu Mojopahit. Bala pasukan Pajang yang di kerahkan berjumlah jauh lebih banyak.
Pasukan Pajang sempat bertemu dengan pasukan Mataram. Pasukan Mataram terdesak kalah lebih dulu, mundur.
Pasukan Pajang yang mengejar mendadak di hadang gempa. Gunung Merapi meletus. Dalam letusannya juga meletupkan debu awan panas, wedus gembel. Hadiwijaya sampai ikut tergoncang terjatuh dari gajah tunggangannya.
Kehendak Alloh SWT., pasukan Pajang yang tadinya menguasai jalan pertempuran jadi terbalik kena musibah.
Hadiwijaya dan balapasukannya yang kuat, bagaimanapun tidak bisa melawan takdir Alloh SWT. Karena bantuan keridhoan Alloh SWT., senopati Ing Alaga Sutawijaya dan pasukan Mataram berbalik memenangkan perang.
Hadiwijaya yang di tandu pun memerintahkan pasukannya berbalik pulang ke Pajang. Dalam perjalanan pulangnya, Hadiwijaya memerintahkan untuk singgah melewati makam Ki Sunan Tembayat di Klaten.
Di makam Ki Sunan Tembayat, Hadiwijaya memeluk makam Ki Sunan Tembayat, sambil menangis dan meminta ampun.
Usai dari makam, Hadiwijaya semakin parah sakitnya.
Di keraton Pajang, Hadiwijaya yang dalam keadaan kritis, meminta puteranya, Pangeran Benowo untuk memanggil Sutawijaya.
Sutawijaya yang mendengar bapak angkatnya dalam keadaan kritis, langsung berangkat bersama adiknya, Raden Benowo menuju Pajang.
Sutawijaya yang baru tiba sungkem kepada Hadiwijaya di pembaringannya. Hadiwijaya meminta Sutawijaya mendekat padanya.
Hadiwijaya mengatakan pada Sutawijaya dengan suara sakit, “ Mulai kini takhta Pajang ku serahkan padamu. Sebagai puteraku tertua, Dul Gendhu, kamu berhak menyandangnya. ”
Tapi Sutawijaya menolak dengan halus permintaan Hadiwijaya. “ Romo, saya sudah memiliki Mataram, biar bagian Mataram saja saya ambil. Soal takhta Negara Pajang, saya tak enak hati dengan Raden Benowo. Supaya adil pembagiannya.”
Tak lama berselang, Hadiwijaya mangkat.
Peristiwa kemudian Dipati Demak mengambil alih kekuasaan di Pajang.
Dipati Demak yang datang dengan segenap pengikutnya di rasakan tidak cocok dengan orang-orang Pajang.
Raden Benowo yang kecewa mengadu pada Sutawijaya.
Sutawijaya pun bersama himpunan pasukan Mataram dan Pajang mendatangi Sultan Pajang Dipati Demak itu.
Sutawijaya berhasil mengalahkan pasukan pengikut Dipati Demak. Pangeran Demak di paksa turun takhta Sultan Pajang dan di pulangkan ke Demak.
Sejak itu takhta Pajang di pindah ke Mataram. Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi Sultan Mataram pengganti kekuasaan Demak dan Pajang di Jawa Tengah. Sutawijaya juga digelari sebagai Panembahan Senopati Ing Alaga Mataram.
Di Jawa pun sekitar awal abad 16m., takhta kasultanan terdapat di Banten ( Jawa Barat ), Cirebon ( Jawa Barat Grage ), Mataram ( Jawa Tengah ), dan Gresik ( Jawa Timur ).

Di Banten, Sultan Maulana Yusuf atau Panembahan Senopati Yusuf, membangun masjid Kasunyatan dan berdekatannya di bangun sekolah madrasah, hingga perguruan tinggi ( mahad ) Islam yang termasuk pertama di Jawa.
Hal ini membuktikan bahwa pendiri sekolah akademik pertama bukanlah KH Dewantara, tapi Sultan Banten, Maulana Yusuf.
Sejak masa dinasti Fatimiyah sekolah perguruan tinggi / mahad Islam adalah terletak di Al-Azhar, Kairo. Ketika Salahuddin Al-‘Ayub bersama pasukan Surosen/ kaum sunni berhasil merebut kekuasaan dari dinasti Fatimiyah yang beraliran Syi’ah, Al-Azhar pun turut di rombak menjadi sekolah aliran sunnah.
Di perguruan tinggi Kasunyatan, mulai terdapatnya tingkatan sekolah/ madrasah ibtidaiyah ( sekolah dasar ), madrasah tsanawiyah ( SMP), madrasah Muhammadiyah ( SMA ), dan mahad ( perguruan tinggi ).
Ketika kaum kolonial barat menduduki Indonesia, sekolah madrasah pun jadi di cap seperti sekolahnya orang kampung.
Perguruan Kasunyatan semakin berkembang di masa kemunculan Syekh Nawawi yang juga kerabat keturunan kasultanan Surosowan Banten.
Syekh Nawawi menerjemahkan dan menulis banyak ilmu tafsir Qur’an dan Hadits, dan fiqih Islam. Diantaranya mengenai sholat ajaran Nabi Muhammad SAW. Kebanyakan di tulis dengan huruf Arab. Kepandaian Syekh Nawawi tersiar hingga ke Mekah. Bahkan di Mekah, Syekh Nawawi sempat di angkat menjadi ulama guru besar.
Buku-buku tulisannya Syekh Nawawi juga hingga kini masih terdapat di simpan di perpustakaan di berbagai negara Timur Tengah, seperti di Arab Saudi, Jordania, Mesir. Murid-muridnya pun di antaranya adalah orang Arab.
Pernah terdapat cerita humor, seorang Arab bertubuh tinggi besar, yang datang ke Banten menanyakan yang mana orangnya Syekh Nawawi. Si Arab sempat salah kira orang. Kemudian Syekh Nawawi menunjukkan dirinya yang bertubuh pendek, bantet. Memang seperti demikian ciri orang Banten. Dari realita data sejarah ini, terdapat hikmat, bahwa kekuasaan Raja bukan sekedar rebutan berkuasa, tapi juga untuk membangun kemaslahatan / prasarana.. Menjadi pemimpin amanahnya menciptakan keadilan. Konservasi kasultanan adalah juga konservasi hak Daulah, yang di terjemahkan menjadi konservasi otonomi daerah hak asal-usul istimewa kedaerahan ( di pasal 18; BAB OTONOMI DAERAH; UUD 45 )

1 komentar:

  1. Tulisan sejarah ini baru tulisan permukaan. Belum lengkap benar. Atas masukan dan saran yang saya dapatkan, saya ucapkan terimakasih.

    BalasHapus