Senin, 09 Mei 2011

Membongkar Gurita Cikeas: tulisan George Yunus Aditjondro

Saidin Surosowan sebagai regenerasi dinasti kekaisaran Mamluk penguasa dunia.

Saidin Surosowan sebagai regenerasi dinasti kekaisaran Mamluk penguasa dunia.

Hubungan sejarah kekaisaran Dinasti Mamluk, Mauquqis; saidin Surosowan dan Pasarean Cirebon.

Sejak di jaman Nabi Muhammad SAW., tercatat dua kerajaan yang masuk Islam dan menghormati Nabi Muhammad SAW. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah kerajaan Mauquqis yang berpusat di Mesir dan kerajaan Najasyi yang berpusat di Ethiopia kini. Nabi Muhammad SAW., pun juga menghormati masing-masing kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam tersebut. Seperti janji Nabi Muhammad SAW., di tiap surat ajakan masuk Islam pada kerajaan-kerajaan, siapa kerajaan yang turut mengucap syahadatain dan masuk Islam, di hargai hak istimewa dan kekuasaan kerajaannya.

Kerajaan Mauquqis yang kaya, tercatat dalam siroh Nabawiyah, memberikan hadiah perempuan Arab sebagai bakal isteri Nabi Muhammad SAW., beserta hadiah mahar pernikahannya berupa harta emas.

Kerajaan Islam Mauquqis bertahun-tahun kemudian melalui sejarah pertumbuhan Islam, menjadi kekaisaran Mamluk yang juga berpusat di Mesir.

Tetapi sekitar masa awal kemunculan dinasti Abbasiyah yang berpusat di Irak, membuat kelompok Khowarij yang kecewa pada pengangkatan Sultan I Abbasiyah, Abbas Assafah, karena tidak menempatkan sama sekali orang-orang Khowarij/ golongan Syi'ah di posisi tinggi pemerintahan. Golongan Syi'ah yang konflik dengan dinasti Abbasiyah jadi menyeberang ke Mesir, melalui sekitar sungai Ismailiyat, hingga berkembang jadi mendirikan dinasti Fatimiyah di Mesir Timur.

Perkembangan kekuasaan dinasti Fatimiyah membuat semakin terpinggirkannya kasultanan dinasti Mamluk di Mesir.

Dinasti Fatimiyah yang menurut sejarah di dukung oleh keturunan Hasan ra., meluaskan kekuasaannya hingga ke Asia, seperti di Gujarat/India, hingga di Sumatera dan Jawa.

Di Sumatera, atau di semenanjung Melayu, berdirinya kerajaan Islam pertama, Perlak di sokong oleh orang-orang dinasti Fatimiyah. Perlak yang terletak di sekitar Aceh Barat, semula adalah kawasan lintas strategis perdagangan.

Hingga pada abad 12 m., kasultanan Perlak di datangi oleh pengelana dari Italia, Marcopolo. Marcopolo menurut kesaksikannya menuliskan Perlak adalah wilayah Islam di Ujung Sumatera Utara bagian barat, wilayah lainnya ke arah selatan, adalah penduduk Sumatera yang masih berbudaya animisme.

Pasukan Syarif Dinasti Mamluk raja penguasanya wilayah Libya

Minggu, 08 Mei 2011

Tiamah

Dark Ages KIB-SBY

SBY ingin meniru Soeharto?

Menteng 31 dan cerita tragis Dr.Chaerul Saleh

Menteng 31 dan cerita tragis Dr. Chaerul Saleh

Hari itu bulan puasa Romadhon. Datang D.N. Aidit, ketua partai CC. PKI menemui Waperdam III Dr. Chaerul Saleh di rumahnya.

Tiba-tiba ( ibu ) Tati Murtasih mendengar suara keributan. Kemudian nampak ( kakek ) Chaerul Saleh berpapasan dengan ( ibu ) Tati Murtasih, sambil mengatakan,"Yah batal deh puasa, gara-gara marah habis menampar Aidit." Belakangan hari-hari itu Dr. Chaerul Saleh nampak sering marah-marah, sejak di perlihatkannya surat ancaman dari PKI, yang menyatakan dirinya termasuk daftar utama incaran PKI untuk di bunuh.

Di sidang paripurna MPR/DPR, Dr. Chaerul Saleh langsung melabrak partai PKI, bahkan terlibat adu pukul dengan Aidit. Presiden Soekarno memerintahkan keduanya untuk tenang. Dr. Chaerul Saleh dan Aidit di suruh bersalaman, hingga Ali Sastroamijoyo memegang bahu Dr. Chaerul Saleh untuk menenangkannya. Dalam perkelahian itu Dr. Chaerul Saleh yang lebih unggul. Tapi ada siluman di belakang siapa tahu.

Kadang Pak lung ( sebutan ( ibu ) Tati Murtasih pada ( kakek ) Chaerul Saleh, berkata sambil bercanda,"Cium ketek uda." ( Maksudnya lihat hasil kerjanya; Dr. Chaerul Saleh di kenal sebagai pekerja yang giat sejak beraktifitas di organisasi kepemudaan hingga sebagai pejabat pemerintah, dari sebagai Komite van Aksi, Barisan Sukarni,Barisan Pelopor, Laskar Rakyat Djakarta Raya, API/Angkatan Pemuda Indonesia, hingga meluluskan kuliah Sarjana Doktornya, pendiri/ketua partai MURBA (Musyawarah Baroe), dan sejak di angkat sebagai Menteri Pembangunan Kabinet Juanda oleh Presiden Soekarno, pendiri /dirut pertama Pt. Krakatau Steel, perintis pembangunan jalur irigasi di Puncak, Jawa Barat, Waperdam III Kabinet Revolusi; PM Dr. Sjahrir, Waperdam I Dr. Soebandrio, Waperdam II Dr. Leimena, Waperdam III Dr. Chaerul Saleh).
Kemudian (kakek) Chaerul Saleh menyantap hidangan sehari-harinya sebagai Menteri, hanya nasi dan sambal buatan (ibu) Tati Murtasih ( kini guru masak senior Direktorat Jenderal RI). Sebagai keturunan Padang dan Batak, Chaerul Saleh lebih senang hanya makan nasi dan sambal, dan tidak suka jajan ( apalagi makanan barat ), seperti pemberitahuan ibu kandung penulis, Tati Murtasih. Mobilnya sebagai menteri, Ketua MPR, ketua partai MURBA, pendiri dan dirut BUMN Pt. Krakatau Steel cuma satu, VW Carmandhia berwarna merah, itupun mobil bekas. Dr. Chaerul Saleh sadar, sebagai pejabat negara, justru ia mesti mencontohkan hidup berfasilitas secukupnya. Dr. Chaerul Saleh juga tidak senang banyak pergi keluar negeri, karena hanya akan menjadi pemborosan uang negara yang berarti juga pemborosan uang rakyat, hingga makanannya sehari-hari pun cuma nasi dan sambal. Mana menteri, anggota MPR/DPR atau pejabat negara yang kini hidup secukupnya seperti beliau sebagai pejabat negara?

Dalam sebuah informasi di sebutkan terjadi perselisihan antara Letjen Ahmad Yani dengan Mayjen Pangkostrad Soeharto, terjadi karena Letjen A. Yani menegur Mayjen Soeharto yang menyelundupkan besi dalam jumlah yang besar ke luar negeri. Dan besi tersebut termasuk dari hasil industri Pt Krakatau Steel yang di dirikan dan di modali pertamakalinya oleh Dr. Chaerul Saleh yang juga sebagai direktur utama pertamanya sedari waktu itu. Bahkan di pertanyakan juga modalnya termasuk di dapat dari uang penjualan warisan rumah dan tanah Dr. Chaerul Saleh dan isterinya, Siti Johanna Menara Saidah di Padang/Sumatera Utara. Jika iya, maka pemerintah, (melalui Deptamben) dan Pt. Krakatau Steel memang benar berhutang pula, termasuk pada ambil bagiannya di hasil tambang besi di Cilegon; wilayah saidin kasultanan Surosowan Banten; termasuk pada keluarga saya dari peranakan saidah Siti Johanna Menara Saidah, dan saidin Surosowan Banten; Pangeran Mohammad Damien bin Ratu Kahinten). Jika di rupiahkan sekarang, nilainya bisa mencapai trilyunan rupiah, atau jika di berikan bagian retribusi ghonimahnya keluarga saidin Surosowan Pangeran Mohammad Damien sejumlah Rp 1 trilyun, kemudian di bagi ke masing-masing anggota keluarga sayid Surosowannya; termasuk bagian penulis, Tubagus Arief Zulfianto dan saidin Surosowannya yang bujang lapuk (usia 35 tahun ke atas); Rp 10 milyar dari pemerintah sudah cukup perdamaian dan pemberian poin bagus pada pemerintahan KIB-SBY. Pemerintah mestinya konsekuen/amanat berlaku adil ( sila 2 Pancasila Kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila 5 Pancasila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ) memberikan hak-hak segenap rakyatnya, terutama hak privilisasi/hak istimewa asal-usul istimewa kedaerahan rakyat-rakyatnya (pasal 18-UUD 45, BAB Otonomi Daerah). Tapi?...

Dari pernikahan Dr. Chaerul Saleh ( Pak Lung/kakek Lung )dengan Siti Johanna Menara Saidah ( Ibu memanggilnya Ibu Yo, penulis menyebutnya Nenek Yo),pasangan keduanya berumahtangga saling mencintai, walaupun tidak berketurunan. Dr. Chaerul Saleh ialah keturunan Datuk Paduko Raja di wilayah Tapanuli, dan Siti Johanna Menara Saidah peranakan dari bapaknya saidin Alamsyah/kasultanan Padang yang berkeraton di Bukittinggi dan ibu dari keturunan saidin Surosowan Banten dan Belanda. Siti Johanna Menara Saidah ialah kakak dari saidah Surosowan Neneng Murdinah, ibunya Tati Murtasih dan neneknya penulis. Atau Uwanya (ibu) Tati Murtasih atau Nenek Yo penulis, Tubagus Arief Zulfianto.

Walau pasangan Dr. Chaerul Saleh dan Siti Johanna tidak berketurunan, keduanya mengangkat anak, yang rata-rata dari anak saudara sepupu atau anak pejuang yang kehilangan bapaknya yang gugur di medan perang gerilya kemerdekaan RI, hingga 100 anak di tampung di rumahnya. Dr. Chaerul Saleh dan Siti Johanna memiliki 2 rumah, di Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat, dan di Jl. Cipayung, gg. Melati, Puncak Raya, Bogor, Jawa Barat. Tapi bukan dari hasil gaji penghasilannya sebagai pejabat negara RI,melainkan dari hasil menjual warisan rumah dan tanahnya di kampungnya di Bukittinggi Padang ( warisannya Nenek Yo), dan Sawah Lunto, Tapanuli dekat kabupaten Agam, Sumatera Utara, mendekati perbatasan wilayah Tapanuli dengan Aceh (warisannya Dr. Chaerul Saleh), karena menyesuaikan posisi Dr. Chaerul Saleh sejak di angkat Presiden Soekarno sebagai Menteri negara RI yang mesti berkediaman di ibukota RI, Jakarta.

Tati Murtasih dari jl. Pasirkuda jaya/kampung keluarga saidin Surosowan di Ciomas, Bogor, dekat sungai Citarum, dan pesantren Al-Ihya, termasuk yang di ajak Nenek/Ibu Yo tinggal di rumahnya di Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat, sekalian berhubungan dengan urusannya melanjutkan pendidikan tingginya di akademi perhotelan HI/Hotel Indonesia, jurusan kuliner, pada 1964. HI sekitaran 1964, termasuk BUMN dan satu-satunya hotel berbintang pertama yang di resmikan pendiriannya oleh Presiden Soekarno. Menyaingi Sheraton, industri hotel raksasanya Amerika Serikat. Kemudian berdiri juga hotel Mandarin di seberangnya, yang pertamanya memperkuat kehadiran HI. Dan muncul hotel Presiden di jaman Presiden Soeharto ( 1970-an).

Walau mengangkat anak 100, Dr. Chaerul Saleh dan Nenek Yo menganggap (ibu) Tati Murtasih sebagai anak kesayangannya. Buktinya Dr. Chaerul Saleh yang tidak suka jajan, sehari-harinya cuma mau menyantap hidangan yang di masakkan oleh ibu penulis, Tati Murtasih. Bahkan di antara 100 anak angkat tersebut, ibu penulis, Tati Murtasih juga yang memasakkan makanan mereka sehari-harinya.

Pada 1964, Tati Murtasih telah lama bertemu dengan pemuda bandel dan playboy dari keturunan hadiningrat Mataram. Walau kelihatannya bandel dan playboy banyak pacarnya di sana-sini, tapi (ibu) Tati Murtasih juga melihat keperihatinan dan rasa iba pada ( bapak penulis ) R. Teguh Pratomo yang baru saja keluar dari dinas kemiliteran di TNI-AL, kemudian meneruskan kuliah pendidikan tingginya di HI, jurusan manajer.

Sebelum di TNI AL, R. Teguh Pratomo ialah anak yatim dengan ibu yang menikah dengan bapak tirinya yang galak dan kadang memukulnya, seperti perilaku bangsawan Jawa Surakarta ( hadiningrat Amangkurat )dulu.

R. Teguh Pratomo semula kuliah di jurusan kedokteran, hingga minatnya pindah meneruskan pendidikan tingginya di AMN, Akademi Militer Nasional di Magelang, mendaftar jurusan AU/Angkatan Udara. Pada waktu pendidikan dasar, segenap perwira mahasiswa tiap jurusan di satukan mesti memulai dari pendidikan dasar, mirip seperti di FSRD. Di masa Pendidikan Dasar di AMN, R. Teguh Pratomo bertemu Tri Sutrisno (Purn. Jenderal/Pangab/Wapres RI V), yang waktu itu adalah teman seangkatannya.

Selepas pendidikan dasar setahun di AMN, Magelang, Tri Sutrisno masuk ke AD, sedangkan R. Teguh Pratomo di tempatkan di AL. R. Teguh Pratomo kecewa di pindahkan ke AL, bertolak dari jurusan pilihannya semula di AU. R. Teguh Pratomo tertarik masuk AU karena ingin menjadi pilot pemburu, terpengaruh dengan adik iparnya, Komodor Ignatius Dewanto, petinggi AU yang juga jajaran tangan kanannya Mayor Jenderal AU, Omar Dhani (Di Tempo, alm. Omar Dhani pernah menuliskan kecurigaannya pada Brigjen AU, Umar Wirahadikusumah (mantan Wapres IV RI), ketika mulai terjadi penyimpangan praktek latihan prajurit gaya komunis di AU, dekat sebelum terjadinya peristiwa gestapu 65. Katanya pada penulis, Om Dewanto ialah satu-satunya pilot yang mampu menembak jatuh pesawat Amerika yang paling lincah gerakannya di antara pilot-pilot sekutu, ketika melakukan agresi militer di Jawa.

Seusai perang Irian Barat, 1963, pada 1964, R. Teguh Pratomo mendatangi pernikahan saudaranya di Jawa Tengah. Dalam pesta pernikahan tersebut juga hadir Komodor AU, Ignatius Dewanto yang juga adik iparnya yang berusia lebih tua darinya. Mendadak muncul PM mendatangi R. Teguh Pratomo, dan memaksanya untuk di bawa ke markas di Jawa tengah, karena kabur dari militer. Sejak itu R. Teguh Pratomo menyelesaikan urusan birokrasinya di militer, dan pindah ke Jakarta, meneruskan kuliah di akademi perhotelan HI.

Di Jakarta, R. Teguh Pratomo sebelum mendatangi rumah pacarnya, ijin meminta bunga pada (ibu) Tati Murtasih yang juga pandai berkebun. Mungkin karena warisan genetik Pamaricannya. Lama kelamaan R. Teguh Pratomo jadi meninggalkan yang di berinya bunga dan melamar pemberi bunganya.

R. Teguh Pratomo dan Tati Murtasih menikah pada 1964,akad nikahnya di lakukan di Pasirkudajaya, kampung Surosowan di Ciomas, Bogor, dan di pestakan lagi bersama teman-teman kuliahnya di HI. Sejak itu R. Teguh Pratomo berangkat kerja dari Bogor ke Jakarta menuju HI naik kereta api/bus.

Di 1965, meletuslah gerakan 30 September 1965. Teman-teman perwira Jenderal yang pernah seangkatan teman gerilya dengan Dr. Chaerul Saleh di antaranya tewas, seperti nasib naas yang menimpa Letjen Ahmad Yani, mantan komandan palagan Ambarawa. Dr. Chaerul Saleh sampai dengan suara sedih mengucap,"apa,...Yani juga kena..."

Di Istana Merdeka keadaannya menjadi rusuh. Rakyat berduyun-duyun melakukan demostrasi sangat besar, dan mengeluarkan salah satu tuntutannya yang paling di kenal, Tritura/tiga tuntutan rakyat, berisi:1. Bubarkan kabinet Dwikora, 2. Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya, 3. Turunkan harga-harga.

Di dekat markas Kostrad, yang komandannya Mayjen Pangkostrad Soharto waktu itu, terletak depan Gambir, di Jakarta Pusat, di dekat tugu tani, mahasiswa UI, Arief Rahman Hakim yang juga aktifis penting KAMI/KAPPI dari UI jl. Salemba, di tembak tentara di sekitar wilayah tersebut. Hingga kini terdapat jl. Arief Rahman Hakim untuk mengenangnya.

Di istana Merdeka, walaupun terdapat penjagaan tentara di pimpin Letnan Sarwo Edhi Wibowo (komandan RPKAD )di depan halaman istana merdeka, tetap saja Presiden Soekarno merasa gelisah, padahal di dalam istana merdeka, Mayjen Pangkostrad Soeharto sudah menawarkan jasanya sebagai Barisan Nasional. Walaupun dari tampilan foto dan ucapan penilaian dari Omar Dhani, di tampakkan juga kecurigaan Soekarno pada Soeharto dengan tatapan kecurigaannya (Majalah Tempo). Omar Dhani berpendapat, bahwa Soeharto juga iri dengan Ahmad Yani yang merupakan perwira lebih muda darinya, tapi di beri posisi pangkat yang lebih tinggi.

Mayjen Soeharto kemudian turun ke jalan, untuk memperlihatkan pada rakyat bahwa ia dan segenap teman perwira jenderalnya adalah barisan yang tetap setia pada pemerintahan Soekarno.

Presiden Soekarno memuji Soeharto, bahkan sebagai pengganti Letjen Ahmad Yani, Mayjen Pangkostrad Soeharto di angkat sebagai Menpangad penggantinya. Tapi Soekarno juga malah bertolak minta pindah ke istana Bogor, hanya di temani Waperdam II Dr. Leimena dan Waperdam III, Dr. Chaerul Saleh, naik helikopter. Sementara Letnan Sarwo Edhie melihat dan menjaga dari balik pagar halaman istana merdeka.

Setiba di istana Bogor, Mayjen Soeharto menyusul Presiden Soekarno ke Bogor, sementara secara tiba-tiba pula 2 tangan kanannya, Waperdam Dr. Leimena dan Dr. Chaerul Saleh di suruh pulang ke Jakarta dengan di kempit tentara.

Mayjen Soeharto menanyakan kenapa Presiden Soekarno tidak mau di jaga olehnya.

Seperti terlihat di film G30SPKI, buatan sutradara Arifin C. Noer dari Yogyakarta, yang biasanya di tayangkan di televisi Indonesia tiap 30 September, dan kini tidak di tayangkan lagi, karena menjadi perdebatan obyektif/kebenarannya sebagai film dokumenter sejarah Indonesia versi obyektif/sebenarnya.

Terlihat adegan Soekarno(yang di perankan Umar Kayam, tapi lebih jelek dari asli rupanya Soekarno yang ganteng dari foto dan kata Ibu penulis, tapi aktor pemeran Mayjen Soehartonya saja yang ganteng (apa karena di buat jaman orde baru? jadi ada terlihat manipulasi sentimennya pada Soekarno tapi mengagungkan Soeharto?), beda dengan film figur Kennedy, baik figur asli dan aktornya sama mendekati gantengnya), tengah duduk menemui Mayjen Soeharto dan barengan Jenderalnya, terlihat Presiden Soekarno habis melakukan pengobatan dengan tusuk jarum dengan menyewa ahli medis dari Cina.

Pernah di Intisari di informasikan bahkan Soekarno ketika bertemu dengan publik Indonesia, dengan di kawal tentara, tidak di perbolehkan menyapa sama sekali pada penduduk, langsung di halau ke mobil oleh tentara, seusai peristiwa gestapu.

Termasuk Dr. Chaerul Saleh, sejak dari istana Bogor pulang ke Jakarta, tadinya di beritahukan bahwa karena habis peristiwa gestapu, sejak itu keamanan dirinya menjadi urusan militer dan negara, untuk alasan keamanan, melalui surat dari Menpangad Mayjen Soeharto, Dr. Chaerul Saleh di jadikan berstatus sebagai tahanan rumah sementara.

Tiba-tiba saja status Dr. Chaerul Saleh di rubah dari tahanan negara ( yang katanya di amankan ), menjadi tahanan politik/tahanan militer. Perubahan itu membuat Dr. Chaerul Saleh protes, bahkan menelepon teman seangkatannya ketika berguru pada Tan Malaka di Padang, dan teman ketika menjadi aktifis revolusi kemerdekaan RI di gedung Menteng 31, Adam Malik, yang rumahnya juga dekat di sekitar kawasan Jakarta Pusat/Menteng, tapi berkali-kali Dr. Chaerul Saleh menelepon, teleponnya tidak di angkat Adam Malik.

Dr. Chaerul Saleh melanjutkan protesnya pada mahkamah tinggi pengadilan negara, bahkan mengatakan kalau saya bersalah, mestinya di sidang pengadilan, tapi tetap saja Dr. Chaerul Saleh di jebloskan ke tahanan militer, tanpa sidang pengadilan, itulah bagian dari sejarah timpang pengadilan negara Republik Indonesia, biar seantero global tahu.

Pernah terdapat mantan hakim yang mengatakan di salah satu stasiun radio menanggapi terdapatnya fenomena hakim-hakim nakal kini,"...and there's a judge that even a king couldn't buy him..." mengutip kalimat dari syair sastrawan Inggeris.

Tapi kenyataannya kini hakim dapat di beli oleh king millioner/king corrupt President /king corrupt elite/king corrupt government/ king capitalis yang berkuasa legal dan nyata kini di atas kezoliman penghapusan/ pengabaian/ manipulatif mengibuli dan mencurangi ( muthoffifin) hak-hak istimewa saidin kasultanan Surosowan Banten Darussalam selayaknya hak penghidupan layaknya ( pasal 27 ayat 2, UUD 45).

Dan mengabaikan atau mencurangi takaran bagian keadilan hak saidin miskin, orang miskin. Seperti contoh pada kasus nenek Minah, saidin Surosowan yang tidak di kembalikan hak eksistensi kongkret kedaulatan dan kedaton kasultanan Surosowan Banten Darussalamnya, di antara di kembalikannya eksistensi kasultanan-kasultanan /kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Kata pengajian ta'lim di masjid, ustadz pernah mengatakan, bahwa salah satu ciri sifat orang munafik/hipokrit, adalah berbuat khianat. Misal mengkhianati apa yang mestinya bagian hak seseorang. Ustadz di radio Benz juga pernah mengatakan bahwa perbuatan khianat itu haram.

Menjadi Sultan/Raja/Presiden/Ketua MPR/DPR/ ketua Senatorium/ketua UN/PBB/Panglima
militer/panglima polisi/pemimpin departemen/pemimpin aparatur negara/pemimpin tinggi sejak di lantik, sama-sama di sumpah jabatan, sama-sama ada mandat/amanatnya sebagai pemimpin tinggi. Cuma bedanya pemimpin perusahaan yang tidak jelas ada komitmen sumpah jabatan dan amanatnya sebagai pemimpin perusahaan.

Seperti misal menjadi Sultan Surosowan Banten, calon kuatnya mestinya dari kelompok keluarga saidin abangnya di antaranya, mesti di klarifikasi keterangan silsilah asal-usulnya. Mesti obyektif/adil dan dapat di andalkan untuk kemaslahatan bersama. Seperti ketika terjadi perselisihan di kasultanan Cirebon, seusai Sultan Cirebon wafat, antara Pangeran Saladin ( si kakak ) dan Pangeran Emirudin ( si adik dari ibu puteri Surakarta ).

Padahal surat waris/wasiat dari almarhum Sultan Cirebon yang baru wafat, menunjuk pada puteranya yang kakak, Pangeran Saladin. Tapi kemudian terjadi keramaian seperti yang pernah terdapat di berita, kalau terjadi penobatan Pangeran Emirudin sebagai Sultan Cirebon, dengan di dukung oleh kekerabatannya dari hadiningrat Surakarta. Anehnya...

Nampak Pangeran Saladin seolah mengalah, tapi juga terlihat ekspresi kekecewaannya
di serobot adiknya, saya pun sebagai bagian dari peranakan saidin Surosowan Banten akan kecewa juga jika ternyata penobatan takhta Sultan Ageng Surosowan Banten di serobot oleh saidin Surosowan yang ternyata asal-usul silsilahnya adalah kelompok adik kekerabatan saya/keluarga saidin Surosowan Pangeran Mohammad Damien ( atau saidin Surosowan indo ras flanders dari kakek-nenek dari Belanda, dan hadiningrat DulGendhu/ hadiningrat Kota Gede/kasepuhan Mataram. Bahkan ibu saya pernah menyebut bahwa Pangeran Mangkudilaga/nama aslinya Haji Rhoma Irama, dan encing ( bahasa Betawi paman) Gubernur DKI Fauzi Bowo, adalah termasuk paman/mamang saya, atau termasuk kelompok adik kekerabatannya saidin Surosowan Pangeran Mohammad Damien. Ibu juga pernah menyebut Hedi Yunus, anggota vokalis grup Kahitna juga saudara dari Bibi Soni, juga kelompok adik kekerabatan. Tidaklah pantas/tidak adil, adik menyerobot bagian hak kakaknya tanpa persetujuannya. Jangan berbuat durhaka.

Makanya di kasultanan Mataram, pernah terdapat istilah susuhunan Mataram. Susuhunan yang bertingkat dari kelompok keluarga hadiningrat kakak yang lebih tinggi keningratannya dari kelompok adik keningratannya, seperti posisi hadiningrat Kota Gede/kasepuhan Mataram pada adik kekerabatannya, hadiningrat Hamengkubhuwono Ngayogyakarta dan hadiningrat Surakarta.

Kalau di kekaisaran Jepang dengan terdapatnya daimyo-daimyo, atau para Pangeran Jepang, dengan masing-masing wilayah keraton, istananya, bahkan masing-masing memiliki benteng dan kelompok pendekar Samurai di masing-masing wilayah keraton/ keluarga Daimyonya. Bahkan ada yang sampai memiliki perusahaan mobil sendiri, seperti Mitsubishi, walau rakyat di wilayah Daimyonya ada yang tinggal di gang-gang tapi bersih, teratur, ketika Jepang belum di kacaukan gempa tsunami yang melandanya di luar persiapan tata kota dan wilayahnya. Di jaman dulu, terdapat Daimyo yang berebut wilayah kekuasan, Daimyo yang satu dengan menguatkan barisan Samurainya merebut dan menduduki wilayah Daimyo lainnya. Hampir seperti sejarah kerajaan-kerajaan Indonesia di jaman dulu, yang padahal juga memiliki hubungan kekerabatan.

Jangan seperti sekarang, seperti kejadian di Mataram, justru yang saidin kasepuhan Mataram dari antara hadiningrat Kota Gede, tidak mendapatkan jabatan Sultan sama sekali, tapi dari generasi kelompok kekerabatan adik-adiknya saja yang menjadi Sultan, seperti contoh Sri Sultan Hamengkubhuwono Ngayogyakarta dan Sri Sultan Surakarta. Padahal justru keturunan asli dan dekatnya Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya (pendiri Mataram) dan Sultan Agung Hanyokrukusumo yang lahir dari keraton Kota Gede, justru hadiningrat Kota Gede ( kasepuhan Mataram). Apa keadilan hakikinya?

Dan misalkan pula bagaimana seorang Sultan/sayid Surosowan dapat berlaku seimbang sebagai Sultan/sayid yang menegakkan peribadatan, memerintah, berkuasa dan mengurusi kesejahteraan rakyat kasultanannya, jika hak fitrah/hak asasinya sebagai manusia baligh yang mendapatkan jodoh lawan jenis ideal sebagai manten pelaminannya, beserta bagian hak kekayaan, prasarana, dan baitul malnya sebagai Sultan/sayid belum nyata di dapatkannya?

Kembali ke seputar kisah manipulatif diakhirinya masa jabatan Dr. Chaerul Saleh. Bukan hanya Waperdam-waperdam; Dr. Soebandrio, Dr. Leimena, Dr. Chaerul Saleh, bahkan Perdana Menteri Dr. Syahrir juga ikut di jadikan tahanan rumah, hingga tahanan militer, hingga wafatnya. Pernah Tubagus Arief Zulfianto, waktu meneruskan kuliah S1 di jurusan Seni lukis di FSRD IKJ, yang kebetulan bertemu dengan dosennya, Dick Syahrir S.Sn yang juga dosen lukis keturunan keluarga Dr. Syahrir, hanya tertunduk sedih jika di tanyakan hal babakan sejarah tersebut.

Sejarah 30 tahun Indonesia merdeka cuma mencatat korban-korban gestapu/pahlawan anumerta (kabinet) revolusi cuma para jenderal-jenderal. Padahal di antara para Perdana Menteri dan Wakil Perdana Menteri juga ikut di siksa hingga di bunuh oleh militer, tanpa status pengadilan resmi di tahanannya. Seperti yang menimpa Dr. Chaerul Saleh. Seperti Arief Rahman Hakim dari UI/KAMI-KAPPI yang juga di bunuh tentara.

Sejarah dan berita mestinya obyektif, di tulis, di informasikan dan dipublikasikan secara lurus, obyektif dan aktual, supaya publik juga mengetahui kebenaran. Seperti ajaran agama Islam di QS An-Nisa': Bersaksilah yang adil/benar.

Bahkan Amerika Serikat yang kadang di tuding sebagai negara polisi dunia yang juga pengacau, ada mengakui kesalahannya di perang Vietnam dan soal penjara Guantanamo. Tapi kita sebagai manusia, dalam realismenya mestinya obyektif.

Setelah Dr. Chaerul Saleh di masukkan ke penjara militer, ibu bercerita, bahwa hingga isterinya Siti Johanna Menara Saidah yang ingin menjenguk dan membawakan makanan pun di larang menemuinya oleh tentara.

Padahal jika di telusuri sejarah karirnya masuk di militer dengan Mayjen Soeharto, lebih duluan Nenek/Ibu Yo/Siti Johanna Menara Saidah yang pernah menjadi komandan seskoad (Kowani;purn BKR AD pertama; BKR itu asal mulanya TKR hingga jadi TNI) sejak jaman melawan penjajahan Jepang untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia; termasuk misi operasi militernya ketika bersama pasukannya menyusup ke markas kempetai/polisi militer Jepang, untuk mencuri bahan kain bakal lambang bendera Indonesia yang kemudian di serahkan pada Ibu Fatmawati untuk di jahit, dan di pakai pada upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di hadapan Proklamator Soekarno dan Hatta dan laksamana Maeda, di Rengasdengklok.

Kini bendera tersebut menjadi bendera pusaka negara Republik Indonesia.

Sedangkan Soeharto ada yang menyebutnya berasal dari KNIL atau kelompok tentara I orang ndonesia lulusan akademi militer NICA/penjajah Belanda ( atau marsose abad 20 m ) yang kemudian masuk TNI.

Pernah penulis bertemu dengan seorang yang seperti orang Padang, nampak berambut gondrong, berkacamata dan rapi, berusia agak tua, dan ketika tahu penulis termasuk cucunya Dr. Chaerul Saleh, ia menceritakan pernah melihat Dr. Chaerul Saleh di di telanjangi dan di pukuli oleh tentara.

Ibu penulis juga pernah bercerita, sempat sekilas bertemu dengan Dr. Chaerul Saleh yang sudah nampak semakin linglung, (seperti habis di intimidasi sejak bertahun-tahun di selnya) dan katanya kini rajin mengurus pot tanaman. Mendengar cerita Dr. Chaerul Saleh, hampir seperti kisah di penjaranya Sayid Quthb, Fathi Yakan dan anggota Ikhwanul Muslimin (Islamic Brotherhood) yang dari Mesir setelah berhasil mengalahkan pasukan Israel dan membela kemerdekaan bangsa negara Palestina, justru disiksa keras sampai ada yang di gantung terbalik atau di suruh berjalan menginjak beling, oleh tentara melalui suruhan pemerintah Mesir yang Presidennya dari oportunis militer yang juga di publikasikan sebagai pahlawan Mesir untuk meningkatkan pamornya yang ternyata di gunakan untuk menimbun ketamakan kekayaan baginya dan keluarganya zolim di luar haknya dan memilih bersekutu dengan antek Israel yang tirani dan penjajah. Seperti teringat lagu almarhum Franki Sahilatua,...aku heran...aku heran, yang salah dipertahankan...yang benar malah di singkirkan. Orang yang benar adalah orang yang tahu secara obyektif, siapa pahlawan sesungguhnya.

Dan pada akhirnya kisah Dr. Chaerul Saleh, nenek Yo dan ibu di kirimi jenazahnya, yang di katakan tentara (AD), terjatuh dari kamar mandi.

Dan Ali Sadikin, yang waktu itu masih menjabat sebagai Jenderal TNI AL, ketika ikut melawat ke rumah Dr. Chaerul Saleh di Jl. Teuku Umar,Jakpus, sampai marah pada tentara AD, yang mengirim jenazah Dr. Chaerul Saleh hanya di lapisi gulungan tikar ( seperti simbol gulung tikarnya dedengkot kelompok orla ). "Masa orang yang jasanya begitu tinggi pada negara seperti bapak Chaerul Saleh, di hinakan begitu..." demikian omelan Ali Sadikin pada oknum/komplotan tentara AD zolim tersebut. Dari data-data cerita itu saja pengamat dapat menyelidiki indikasi siapa komplotan pelaku gestapu/pengkhianat 65 sebenarnya. Coba tebak siapakah? Dan siapa yang dapat keuntungan dan kedudukan tinggi busuknya setelah orde lama, sejak orde baru dan regenerasi kelanjutannya hingga kini? Coba check and balance secara obyektif.

Kemudian ibu penulis ( ibu Tati Murtasih ) dan dokter ( yang juga saudara), ikut memandikan jenazah Dr. Chaerul Saleh. Dan keduanya menemukan tanda seperti memar dan kebiru-biruan pada sekujur tubuhnya Dr. Chaerul Saleh, seperti habis di racun dan di aniaya.

Almarhum Dr.Chaerul Saleh kemudian di kuburkan di TPU Karet, dekat jl. Setiabudi, kuningan, pada 1967. Baru setelah pemakamannya Presiden Soeharto ( yang baru naik jabatan sebagai Presiden RI kedua setelah turunnya Supersemar ( yang juga jadi perdebatan apakah benar keaslian dokumennya, dan apakah benar di turunkan tulus dari Presiden RI sebelumnya, Ir. Soekarno), mengirimkan surat keterangan jikalau ternyata Dr. Chaerul Saleh tidak bersalah dan tidak terbukti sebagai PKI atau bagian dari pelaku gestapu. Tapi seperti pepatah, gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, kesalahan besar hingga menyebabkan bagian keluarganya sebagai Direktur Utama pemilik PT. Krakatau Steel, kakeknya menjadi mayit yang di aniaya dan dibunuh, tetap membekas dendam pada keluarga kumbang jagurnya dari saidin Surosowan. Banten. Dendam yang bisa saja di balaskan pada keturunan/cucu-cucunya komplotan busuk almarhum orangtuanya yang busuk. QS Al-Zalzalah, kebaikan balas kebaikan, kejahatan balas kejahatan, dan ayat Qur'an, mata balas mata, tangan balas tangan, telinga balas telinga. Secara siluman Siliwangi atau terang-terangan.

Almarhum purn.Mayjen AU, Omar Dhani pernah mengatakan di majalah Tempo, bahwa tujuannya memberikan informasi di artikel mengenai pendapatnya, semata-mata untuk meluruskan sejarah, agar publik dan anak cucu bangsa atau publik global memahami makna sejarah yang benar.

Almarhum Ki Gus Dur dalam slogan pendirian partainya, PKB juga mengatakan,"Membela yang benar."

Memperjuangkan kebenaran adalah termasuk jihad fisabilillah. Asmaul Husnanya Alloh al-Hakim (Alloh yang Maha Hakim, Maha Menegakkan Keadilan dan cinta pada yang menghargai hak/kebenaran).

Jumat, 06 Mei 2011


Senopati Ing Alaga Dul Gendhu Asmaragama

Masa ketika Senopati Sultan Hanyokrokusumo berkeraton Mataram di Kota Gede sebelum mendirikan keraton Ngayogyakarta sebagai bagian pentahbisannya sebagai Sultan Agung I Mataram...
Hari itu, senopati Mataram muncul juga rasa takutnya memandang pasukan Bang Wetan yang berjumlah besar. Pasukan Bang Wetan terdiri dari pasukan Sultan Banten, Makassar, Pangeran Dipati Surabaya,dan Bali. Menghadapi pasukan sebesar itu hampir membuat Panembahan Senopati Kota Gede mengurungkan niatnya untuk menduduki Gresik.
Gresik yang di bentengi pasukan Bangwetan yang besar dan dinding kasultanan Giriprapen, nampaknya mustahil untuk di tembus oleh senopati Kota Gede yang pasukan dan kekuatan kasultanannya yang lebih kecil dari bawah tanah.
Hari itu Pangeran surakarta Gresik, Syekh Sri Amongrogo sebagai putera sulung dan penerus tahta Sultan Gresik berdiri di posisi dengan kedudukannya yang tinggi dan sombong.
Tapi Senopati Kota Gede mencari jalan lain. Akal-akalannya adalah dengan menguasai satu-persatu dari kesatuan pasukan Bangwetan yang besar. Akal anak Singasari untuk menguasai kumpulan macan kumbang. Incaran pertama adalah Dipati Jawa timur yang merupakan pasukan bantuan terdekat. Senopati Kota Gede tahu kelemahan Dipati Jawa Timur adalah gadis cantik, maka di kirimnya saudara perempuannya untuk penyampai pesan perdamaiannya pada Dipati Jawa Timur.
Mengira Senopati Mataram mengurungkan niat untuk menduduki Jawa Timur, membuat pasukan Bangwetan mengendurkan persiapan perangnya terhadap Senopati Kota Gede. Pasukan Bangwetan pun berpencaran. Di waktu-waktu itu pula Senopati Kota Gede melihat celah-celah kesempatan menduduki wilayah Dipati Jawa Timur dengan serangan mendadak.
Ketika Dipati Jawa Timur sedang mabuk kepayang di imingi puteri Mataram, Senopati Kota Gede bersama pasukannya merebut kedatonnya menjelang fajar. Dipati Jawa Timur yang tidak menyangka tunduk menyerah. Hari itu Senopati Kota Gede merebut benteng terkuat kedua pertahanan Sultan Gresik Sri Amongrogo.
Senopati Kota Gede memasuki kamar Puteri Ayu Dipati Jawa Timur. Puteri Ayu melempar keris, tapi Senopati Kota Gede memperisai dengan kekebalannya. Melihat keperkasaan Senopati Kota Gede, puteri Ayu Dipati Jawa Timur jadi menyerah, dan jatuh ke dalam pelukan asmaragama Senopati Kota Gede.
Sejak itu jalan menguasai kasultanan Gresik terbuka bagi Senopati Kota Gede...

Restorasi kasultanan Surosowan

Rabu, 04 Mei 2011

Restorasi Kasultanan Surosowan Banten Darussalam.

Sejak di hancurkan oleh penjajah kolonial Hindia Belanda era Gubernur Jenderal Daendels, kini komplek Banten lama tinggal kenangan puing-puing di sekitar istana Surosowan. 

Walau demikian, perlawanan terhadap kolonial Belanda terus berlanjut dari wilayah Banten. Sejak sebelum abad 18 masehi, ibukota Banten telah berpindah beberapa kali, di kota Banten, Serang, hingga di Rangkasbitung. Sejak itu pula saidin Surosowan berpindah dan menyebar ke sekitar Jawa Barat, Jakarta, bahkan hingga ke Padang. 

Di tahun 1947, Presiden Soekarno mendatangi residen Tubagus Banten, untuk meminta ijin agar Jakarta di jadikan ibukota negara Republik Indonesia.

Di antara cetakan uang lama RI, ORI ( Oeang Republik Indonesia ), terdapat menggunakan gambar tiamah kasultanan Surosowan Banten.

Di jaman orde baru, salah satu keluarga Surosowan di Jakarta, dari garis keluarga Tubagus Mohammad Damien, mendapatkan undangan dari Gubernur DKI Jakarta, Purn. Jenderal R. Wiyogoatmodarminto untuk berziarah ke makam Sultan-sultan Surosowan Banten di komplek Banten lama.

Di samping undangan, Gubernur R. Wiyogoatmodarminto juga memberikan kiriman surat silsisah asli bahwa keluarga Tubagus Mohammad Damien termasuk dalam keturunan saidin kasultanan Surosowan Banten Darussalam.

Ketika itu, penulis baru berusia masa sebagai siswa SMPN 13, di jalan Tirtayasa, Jakarta Selatan. Oleh Ibu, bersama sekeluarga almarhum bapak dan nenek (saidah) Neneng Murdinah, ikut pergi ke Banten. Dengan rute dari Jakarta, ke Bogor, kemudian singgah dulu di Rangkasbitung, di rumah bibi di Banten.

 Tadinya bibi dan sekeluarga di Rangkasbitung ikut di ajak turut serta, tapi sedang tidak bisa, karena terlalu mendadak di ajaknya. Kemudian sekeluarga Tubagus Arief Zulfianto (penulis) meneruskan perjalanan ke Banten lama.

Sesampai di Banten lama, Tubagus Arief Zulfianto dan sekeluarga ketika turun dari mobil, melihat pemandangan anak-anak, pemuda sedang berkumpul sambil berlatih silat Banten di lapangan komplek Banten lama di bimbing guru-guru pencak silatnya. Pohon-pohon kelapa bergoyang melambai-lambai di terpa angin di Banten lama, seolah ikut memberikan salam pada keluarga yang telah jauh berpindah rumah dari rumah istananya dulu.
 Orang-orang di sekitar juga ikut memandang, seolah tahu dan ikut menghormati kunjungan keluarga saidinnya di Banten.  Tapi Tubagus Arief Z hanya masih kanak remaja di masa itu yang sekedar datang bersama sekeluarga karena rasa ingin tahu...

Kemudian Tubagus Arief Z, yang masih kanak remaja tertarik melihat tiamah Masjid Banten, dan masuk ke dalamnya untuk melihat-lihat bersama bapak dan keluarganya. Hanya Nenek, karena sudah berusia tua ditemani ibu tidak masuk ke dalam tiamah.

Tubagus Arief Z pun menaiki tangga-tangga di dalam tiamah, dan memandang keluar melalui jendela, sekali lagi terlihat nyiur kelapa melambai-lambai dan kumpulan anak, pemuda dan orang-orang meneruskan berlatih silat Banten. Melihat pemandangan itu, Tubagus Arief Z, jadi teringat saat menonton film Jaka Sembung, pendekar yang memimpin kumpulan pendekar silat. Atau film-film kungfu Cina, ketika keluarga Kaisar Cina di sambut oleh para pendekar bela diri panji kekaisaran Cina. Tapi yang ini para pendekar panjinya saidin Surosowan Banten.

Selesai melihat tiamah, Tubagus Arief Z di ajak keluarga yang menunggu untuk meneruskan memasuki masjid Agung Banten. Nenek dan Ibu ikut sholat di dalam masjid Banten, sementara Tubagus Arief Z, terus melihat-lihat ruangan di sekitar Masjid, dan menemukan sebuah situs ruangan khusus yang di beri tanda spanduk, ruangannya Syekh Maulana Malik Ibrohim, yang pernah menjadi Wali di Banten, setelah dari Sumatera tiba pertama kalinya di Jawa. Hingga dari Banten meneruskan perjalanannya ke Gresik. Tadinya Tubagus Arief Z yang kanak remaja tidak tahu siapa itu Syekh Maulana Malik Ibrohim menanyakan ke ibu, tapi ibu juga menjawab tidak tahu. Baru setelah dewasa, Tubagus Arief Z baru dapat informasi tentang Syekh Maulana Malik Ibrohim, yang termasuk wali senior di jajaran Wali Songo.

Dari Masjid Banten, sekeluarga mengajak masuk ke komplek pemakaman Sultan-sultan Banten, karena itulah tujuan utamanya pergi ke komplek Banten lama. Di pemakaman, Nenek dan ibu berdhoa dan membaca surat Yasin yang di hafalnya di luar kepala.

Setelah dari makam Sultan-sultan Surosowan Banten, sekeluarga pun pindah memasuki keraton istana Surosowan. Tubagus Arief Z sempat ketinggalan, akibat penasarannya melihat ruangan khususnya Syekh Maulana Malik Ibrohim.

Tapi ketika Tubagus Arief Z menuju ke istana, terlihat Bapaknya ternyata menungguinya di depan pintu istana. Dari melihat pintu pagar istana saja Tubagus Arief Z, jadi teringat rumah kakeknya dari Bapaknya di Petanahan, Kebumen, yang nyaris sama kondisinya,... tinggal peninggalan puing-puing. Dan yang sama-sama puing-puing akibat di hancurkan oleh penjajah kolonial Belanda.

Itulah kenangan tanda ketidakadilan dan kesemenaan penjajah kolonial Belanda pada keluarga Tubagus Arief Zulfianto yang belum terbayarkan hutangnya hingga kini pada hak keluarganya selayaknya...

Penulis
Tubagus Arief Zulfianto,
Pelukis,Sarjana Seni FSRD IKJ, Jakarta.