Jumat, 23 September 2011

Kenang-kenangan dari Cirebon

Disekitar tahun 1996,,, Hari itu adalah hari libur semester kuliah yang menjenuhkan di FSRD IKJ. SKS bertumpuk ada yang mesti mengulang dari semester kemarin dan waktu itu.

Deden FG dan Anto Wibowo mengajak berlibur ke Yogyakarta. Tubagus Arief Zulfianto pun setuju, meski ada merasa beratnya meminta ijin pada ( alm ) bapak dan ibu di rumah. Di samping itu keberatan utamanya adalah perhitungan ongkos dan biaya menginapnya ke sana.

Tapi untungnya ibu dan ( alm ) bapak mengijinkan, walaupun sempat di tanya-tanya juga oleh (alm) bapak, tapi Tubagus Arief Zulfianto pun berkilah dengan alasan seperti saya kan sudah besar, masa pergi berlibur sama teman ke Yogya saja di larang? Yah itulah akal-akalan anak muda. Dan (alm) bapak menyetujui.

Maka pada hari menjelang kepergian, justru (alm) bapak dan ibu yang mengingatkan persiapan saya untuk pergi ke Yogya. Saya pun mempersiapkan perbekalan, seperti kaos, kemeja, sabun, sikat gigi, odol, handuk, hingga apa yang paling saya tunggu dan harapkan, dana yang turun dari ibu dan (alm) bapak. Bahkan ibu menyuruh saya juga memasukkan makanan dan minuman untuk perbekalan. Yah itulah orangtua, bagaimanapun pada anaknya memperhatikan dan menyayangi.

Dari siang pun saya berangkat ke terminal Pulogadung. Dalam perjalanan hingga tiba di terminal Pulogadung, saya sempat was-was kalau Deden dan Anto tidak jadi berangkat. Tapi saya yakin Deden pasti tiba, karena hendak menemui bapaknya, tujuan kepergiannya kuat, sedangkan Anto di pertanyakan, karena ia juga kalo janji kadang membelok.

Tapi Tubagus Arief Zulfianto bertemu dengan keduanya. Mereka sudah sia dengan tas, Tubagus Arief Zulfianto juga sempat melihat Anto dan ada kata dalam hati,… tumben tepat janji.

Dalam penungguan bus menuju Yogyakarta, tampak Deden dan Anto menoleh pada gadis yang juga akan pergi. Dan mereka malah jadi asyik mengobrol dengan gadis itu. Tubagus Arief Zulfianto, Deden dan Anto juga saling bertolehan dengan tertawa tertahan.

Anto dan Deden menanyakan ke arah mana perginya gadis itu, ternyata hendak pergi ke Cirebon. Setelah antara Deden, Anto dan gadis Cirebon itu mengobrol sambil bercanda dan ketawa, di selingi dialek Deden yang kejawaan, membuat geli juga.

Tiba-tiba Anto ngobrol berdua dengan Deden secara serius, nampak Deden sorot wajahnya berubah menjadi seperti keberatan tapi ragu, kemudian Anto pun beralih ke Tubagus Arief Z, dan mengajak untuk ganti kepergian ke Cirebon.

Tubagus Arief Z pun jadi geli dan heran juga kok perginya jadi berubah, sebetulnya nampak Deden juga seperti keberatan, tapi karena Anto gigih mengajak, kami pun jadi setuju saja mengubah arah kepergian. Deden juga mengatakan kalau di Cirebon ada rumah saudaranya.

Anto pun sambil merokok juga memperlihatkan raut wajahnya yang seperti merokok sambil bernafsu. Yah hari itu juga Tubagus Arief Z jadi terpaksa mengikuti, dan agak setengah kecewa, karena ijin di rumah perginya ke Yogyakarta. Dalam perjalanan pun jadi ada perasaan was-was juga, khawatirnya kalau kenapa-kenapa, orang di rumahnya tidak tahu posisi sebenarnya ke Cirebon, tahunya lain ke Yogyakarta. …Gara-gara Anto. Deden juga sepertinya jadi kecewa tidak jadi bertemu bapaknya di Yogya.

Kemudian Anto seperti biasa turut mendompleng minta rokok pada Tubagus Arief Zulfianto. Kami pun mengeluarkan kocek masing-masing untuk di kumpulkan buat memesan tiket bis ke Cirebon.

Dalam perjalanan, nampak Anto dan Deden mengisi perjalanan dengan mengobrol bercanda ria dengan gadis tadi. Sepertinya mereka juga puas mengisi waktu dalam bus dalam perjalanan panjang ke Cirebon dari malam harinya.

Setelah Tubagus Arief Z tertidur, karena jenuh kepenuhan dan tidak suka jadi merendahkan diri untuk ikut mengobrol dan menggeerkan gadis Cirebon itu yang sudah di apit Anto sebagai mentornya Deden soal ngobrol dengan cewek itu.

Di pagi harinya Tubagus Arief Zulfianto terbangun dan melihat pemandangan nampak awan-awan pagi dengan sinar matahari yang baru muncul. Akhir perjalanan dalam bis,Deden mengatakan sudah tiba, Anto pun mengingatkan Tubagus Arief Z yang setengah ngantuk kalo sudah sampai di Cirebon.

Di pemberhentian di Cirebon, dengan gadis itu pun berpisah, Anto dan Deden mengajak mencari makanan jajanan untuk mengisi perut di pagi hari. Kamipun berjalan sedikit dan menemukan makanan nasi khas Cirebon yang di jual kaki lima dengan di bungkus daun.

Setelah makanan nasi campur lauk bungkusan daun khas Cirebon tersebut yang berharga murah, kami pun meneruskan perjalanan ke rumah saudaranya Deden.

Sampai di rumah saudaranya Deden melewati matahari yang mulai panas, membuat berkeringat dan ingin mandi, dan melalui perjalanan kaki yang jauh, Deden pun mengetuk pintu rumah saudaranya.

Setelah di bukakan oleh saudara perempuannya yang masih remaja dan semok kata Anto, kami pun duduk di lantai rumah saudara Deden. Tubagus Arief Z dan Anto pun mengakui sama-sama ingin mandi dan tidur lagi.

Saudara perempuan Deden pun membawakan kue dan minuman.

Sambil menunggu, kami pun menonton televisi, dan acaranya kebetulan berita yang menghebohkan, Lady Di dan kekasihnya Doddi al-Fayed tewas kecelakaan mobil.
Deden dan Anto terdengar heboh berkata, " Tuh..tuh..."
Seusai melihat tayangan berita kecelakaan Lady Di dan Doddy Al-Fayed, kami pun di ijinkan mandi bergantian.
Sehabis mandi kami duduk terdiam masing-masing, kemudian saja tertidur di lantai hamparan karpet.
Siangnya kami terbangun. Anto yang masih tidur. Saya dan Deden kemudian merokok, Anto ketika bangun sambil mata setengah terbuka berucap suara bangun tidur, " ,,,udah jam berapa nih ?"
Deden yang memulai suara komando, " Udah siang nih, mendingan jalan,,," Anto sambil minum air dan mengambil rokok, menyambung," iya sih daripada bosen."
Kami pun bersiap-siap. Tapi sebelumnya numpang cuci muka di rumah sepupu Deden.
Deden yang tahu jalan di Cirebon menjadi pemandu. Setelah berjalan beberapa waktu, kami sudah tiba menuju halaman istana keraton Cirebon.
Kami tiba melewati area makam sesepuh di Cirebon. Melewati pohon-pohon jati yang besar, di mana terlihat beberapa ekor monyet.
Deden dan Anto bercanda memberi makan kacang ke monyet. Seekor monyet tiba-tiba saja melompat ke bahu Anto yang pegang bungkusan kacang. Anto terlihat kaget sambil ngomong," Yee,, ." Lucu juga melihat Anto ngomong sama monyet.
Deden juga nyengir-nyengir melihat Anto dengan tawa logat Jawanya.
Sehabis dari taman monyet, kami meneruskan perjalanan, hingga tiba di halaman istana keraton Cirebon.
Kemudian kami di ajak Deden ke masjid Sang Ciptarasa terlebih dulu. Karena Deden ingin sholat. Kami masuk melalui gerbang bata khas Cirebon / seperti pagar gapura yang pernah saya temui ketika ke Banten lama. Tapi saya tidak bilang pada Deden dan Anto ingatan tersebut.
Kami melewati pintu berwarna hijau di mana melihat terdapat simbol kembang seperti lambang di Banten. Seperti ingatan saya waktu melihat hiasan motif tiamah Banten.
Di sekitar pintu juga terdapat kaligrafi kufi khas Irak. Berhiaskan kembang seperti motif Banten dan pedang bersilang seperti bendera Arab Saudi dan lambang Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Tapi Masjid Cipta rasa Cirebon sudah di dirikan sejak abad 15 m., sebelum berdirinya masjid Demak, negara Arab Saudi di abad 17 m., apalagi Ikhwanul Muslimin.
Kami pun sama-sama berwuduk bareng. Wudhuknya dari bak, seperti cara madzhab Syafi'i.
Seusai wudhuk kami melaksanakan sholat bersama.
Melihat ke dalam interior masjid Sang Cipta Rasa, kami seperti berada di sebagian jaman kuno.
Anto dan Deden bercakap-cakap seperti mahasiswa arkeologi, ketika melihat hiasan piring keramik di pagar depan keraton Cirebon.
"Kok kayak dari Cina ya Den?," tanya Anto pada Deden. Dan Deden menjawab " Ya,,,memang ada unsur Cinanya."
Kemudian kami pun melewati gerbang depan keraton. Sayangnya di antara kami tiada yang bawa kamera waktu itu. Yah sama-sama mahasiswa miskin juga waktu itu, tapi bisa berlibur semester ke Cirebon atau ke Yogya. Walau tidak sempat di rekam di kamera, tapi terekam di ingatan kepala.
Kami masuk ke museum keraton Cirebon. Deden juga sempat mengatakan kalau ibunya termasuk keturunan indo bangsawan Cirebon dan Perancis. Bapaknya yang keturunan hadiningrat Mataram. Saya juga pernah bilang ke Deden, bapak saya juga sama berasal dari hadiningrat Mataram. Tapi saya waktu itu juga lupa kalau saya pernah ke Banten lama bersama nenek dan ibu, melalui undangan khusus mantan Gubernur DKI, purn. Jenderal Raden ( Sumedang ) Wiyogo Atmodarminto.
Deden dan saya ternyata sama-sama anak indo, kalau Deden indo Perancis, saya indo Belanda. Tapi tetap saja indo gado-gado Jawa hasil masa Hindie mooy.
Saya waktu itu belum tahu kalau saidin Surosowan Banten juga termasuk keturunan Ki Sunan Gunung Jati. Atau juga bersaudara dengan keluarga Sultan Cirebon. Belakangan setelah baca buku saya baru tahu kalau saya dan keluarga yang saidin Surosowan Banten adalah juga cucunya Ki Sunan Gunung Jati. Ternyata Ki Sunan Gunung Jati adalah Eyang saya dan keluarga saidin Surosowan.
Pengalaman masuk ke keraton Cirebon, entah kenapa waktu itu saya rasakan juga seperti masuk ke rumah kampung halaman sendiri. Atau seperti bersilaturrahmi ke rumah Mbah/ saudara.
Kami masuk ke museum keraton Cirebon. Kami melihat bermacam-macam keris dan senjata kuno di pajangan. Deden berkata sambil berbisik, keris-keris tersebut barang pusaka, bahkan ada yang bisa terbang, makanya di taruh di etalase.
Kemudian kami berhenti sejenak di sekitar terdapatnya benda seperti kurungan ayam. Saya pun tertarik untuk mengangkat kurungan, tapi tidak bisa. Kata Deden ada isinya tuh. Ketika saya akan meneruskan lantaran penasaran, kemudian muncul penjaga museum. Deden pun memegang saya, udah Gu gak usah di terusin. Kami pun keluar.
Keluar dari museum keraton, kami terus ke gua Sunyaragi. Di pintu masuk gua/benteng Sunyaragi, kami di wajibkan berwuduk dulu oleh bapak penjaganya yang berpeci. Air wuduk sudah di sediakan di mata air, katanya air tersebut khusus. Dan kami mengambil wuduk dari mata air. Memang terlihat airnya jernih. Kata bapak penjaganya air tersebut juga berkhasiat. Deden, Anto dan saya jadi nyengir. Tersambung candaan Anto dengan khayalan dari pemberitahuan khasiat mata air Sunyaragi tersebut. Katanya pada saya, Wah Gu, besok lo dapat jodoh keren. Saya cuma nyengir.
Kami sempat melihat bapak penjaga yang baik turut mendho'akan kami.
Seusai melihat-lihat gua Sunyaragi, kami pun keluar dari keraton Cirebon karena hari mulai sore. Bahkan tak dinyana keluar dari keraton Cirebon, setiba di halaman alun-alun antara keraton Cirebon dan masjid Ciptarasa telah gelap.
Anto mengajak duduk nongkrong dulu menikmati pemandangan. Padahal kami ingin merokok, karena sudah lama menahan tidak merokok di dalam keraton Cirebon.
Sambil merokok, saya mengeluarkan pena dan papan sketsa dan kertas yang saya bawa. Saya pun membuat sketsa.
Tapi karena gelap, dengan lampu yang sedikit, sketsa itu pun jadi susah melihatnya.
Di alun-alun terlihat tidak begitu seramai pemandangan ketika berada di depan keraton kannoman kasultanan Ngayogyakarta yang lebih besar halamannya.
Bahkan mungkin alun-alunnya tidak sebesar seingatan saya di Banten lama.
Tapi bedanya kalau di halaman istana Yogya di isi dengan orang-orang di lesehan, pengunjung, kalau di alun-alun Banten lama di isi dengan warga, pesilat, pemuda dan remaja Banten berlatih silat dan debus di ingatan saya.
Waktu seusia kanak-kanak di Banten lama, saya ingat angin-angin besar melewati sekitar saya, di mana terdapat beberapa orang berlatih menjajal adu tenaga dalam di depan masjid Agung Banten dan komplek istana Surosowan/ kasultanan Banten . Pohon-pohon kelapa terlihat bergoyang-goyang meliuk kencang.
Makanya pesilat dari Banten kini termasuk juara bertahan berkali-kali di pencak silat nasional.
Kami meneruskan perjalanan melewati malam. Di tengah jalan kami mencari warung untuk jajan makan dan minum sekedar mengisi perut.
Asyik juga melihat kota Cirebon di malam hari. Ternyata kota ini ramai juga. Lampu-lampu kota terlihat. Berjalan di kota Cirebon enak juga, melihat pemandangan lebih detil. Ketimbang naik kendaraan. Karena baru sekali ini ke Cirebon.
Malamnya kami singgah di sekitar terminal Cirebon. Tadinya terlihat seperti nampak warung remang-remang. Anto bertanya pada Deden tempat apa itu. Kata Deden, itu tempat pelacuran.
Anto tadinya mengajak ke sana. Tapi Deden menolak.
Saya juga enggan, karena tempatnya terlihat menyeramkan. Perkiraan saya tempat macam itu mungkin ada pemalak dan premannya juga.
Kami kemudian memilih duduk di warung sekitar terminal. Kemudian memesan minum dan makanan. Selagi di warung terminal lewat waria. Waria itu mencolek Anto, sambil mengatakan hey cowok ganteng beliin teh botol dong, nanti kita sedot deh.
Anto sambil makan menjawab," Hoy ! emang apaan." Kemudian nyengir khas Anto. Deden dan saya juga ikut geli melihat Anto di goda waria. Tapi anehnya kok Anto nyambung ngobrol sama waria.
Setiba di rumah sepupu Deden, kami pun jadi mudah tidur setelah berjalan.
Besoknya pagi-pagi Pamannya Deden bersedia mengantarkan pulang.
Kami di turunkan di dekat pelabuhan Cirebon, pelabuhan Pesambangan tempat Fatahilah dulu mendaratkan armada korap Demak. Deden yang mengusulkan.
Kami masuk pelabuhan Cirebon. Kemudian mencoba naik di salah satu kapal pinisi. Di kapal pinisi, Deden dan Anto mengajak ngobrol dengan orang kapal, sementara saya mencoba melakukan sketsa di dalam kapal.
Pemandangan di kapal pinisi sangat bagus. Sayangnya sketsa saya juga tidak selesai seperti waktu di alun-alun keraton Cirebon.
Waktu itu karena mendalami ilmu lukis, saya di ajari oleh Deden untuk tidak terlalu bergantung pada kamera.
Tapi jika ingat pengalaman perjalanan-perjalanan ini, jadi menyesal juga waktu itu juga tidak punya kamera. Seperti sekarang begitu dapat kamera ketinggalan jaman digital.
Deden dan Anto sama-sama bermata tajam, dan sama-sama memiliki ingatan rekaman pandangan yang tajam. Mungkin karena latar keduanya yang dulu sama-sama sudah belajar seni lukis sebelum masuk FSRD IKJ. Deden dari SMSR dan di ajarkan bapaknya mantan dosen ASRI dan muridnya maestro Affandi dan Anto dari anak sanggar lukis.
Makanya dari latar anak sanggar lukis, begitu masuk Desain Grafis, termasuk mendukung Anto menjadi Desainer Grafis profesional taraf internasional ( bahkan kini Anto telah memenangkan sebagai Juara I kompetisi Desain Grafis United Nation mengalahkan ratusan peserta antar mancanegara ). Jadi bangga juga saya dulu memberi bangku desain grafis pada Anto, menukar dengan jurusan lukis yang di dapatnya awal masuk FSRD IKJ. Mungkin sudah termasuk skenario takdir ALLOH SWT., menempatkan jalur setapak kami masing-masing, dan jalurnya masih berdekatan dapat mempertemukan kami jua.
Seperti Gunung yang punya beberapa jalur setapak, tapi toh menuju puncaknya berdekatan.
Dari latihan ketajaman pengamatan dan merekam pengamatannya.
Peninggalan ilmu dari pelukis jaman dulu. Tidak terlalu mengandalkan kamera.
Setelah dari pelabuhan Pesambangan, kami berjalan lagi melewati kota Cirebon. Deden mengajak ke toko penjual khas Cirebon untuk oleh-oleh.
Siangnya kami mampir di warung empal gentong, makanan khas Cirebon.
Setelah itu kami pun tiba di terminal bus. Deden mengatakan akan meneruskan perjalanan ke Yogya untuk mengunjungi bapaknya. Di terminal bus Cirebon kami berpisah. Setelah membeli tiket, Anto dan saya naik bus pulang ke Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar