Jumat, 30 September 2011

La Muerta t-shirt illustrations on the Behance Network

La Muerta t-shirt illustrations on the Behance Network

Battle of Ain Jalut: Mamluks Beat Mongols at Goliath’s Spring | The American Legion's BurnPit

Battle of Ain Jalut: Mamluks Beat Mongols at Goliath’s Spring | The American Legion's BurnPit

Kisah Teladan: Perang Uhud (I)

Kisah Teladan: Perang Uhud (I)

PEPERANGAN UHUD ( SETELAH PERANG BADAR )

BAB 15. PERANG UHUD Persiapan Quraisy di Mekah SEJAK terjadinya perang Badr pihak Quraisy sudah tidak pernah tenang lagi. Juga penstiwa Sawiq tidak membawa keuntungan apa-apa buat mereka. Lebih-lebih karena kesatuan Zaid b. Haritha telah berhasil mengambil perdagangan mereka ketika mereka hendak pergi ke Syam melalui jalan Irak. Hal ini mengingatkan mereka pada korban-korban Badr dan menambah besar keinginan mereka hendak membalas dendam. Bagaimana Quraisy akan dapat melupakan peristiwa itu, sedang mereka adalah bangsawan-bangsawan dan pemimpin-pemimpin Mekah, pembesar-pembesar yang angkuh dan punya kedudukan terhormat? Bagaimana mereka akan dapat melupakannya, padahal wanita-wanita Mekah selalu ingat akan korban-korban yang terdiri dari anak, atau saudara, bapak, suami atau teman sejawat? Mereka selalu berkabung, selalu menangisi dan meratapi. Demikianlah keadaannya. Orang-orang Quraisy sejak Abu Sufyan b. Harb datang membawa kafilahnya dari Syam, yang telah menyebabkan timbulnya perang Badr, begitu juga mereka yang selamat kembali dan Badr, telah menghentikan kafilah dagang itu di Dar'n-Nadwa. Pembesar-pembesar mereka yang terdiri dari Jubair b. Mut'im, Shafwan b. Umayya' 'Ikrima b. Abi Jahl, Harith b. Hisyam, Huaitib b. Abd'l-'Uzza dan yang lain, telah mencapai kata sepakat, bahwa kafilah dagang itu akan dijual, keuntungannya akan disisihkan dan akan dipakai menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah akan dikerahkan dan supaya ikut serta bersama-sama dengan Quraisy menuntut balas terhadap kaum Muslimin. Ikut pula dikerahkan di antaranya Abu 'Azza penyair yang telah dimaafkan oleh Nabi dan antara tawanan perang Badr. Begitu juga kabilah Ahabisy2 yang mau ikut mereka dikerahkan pula. Wanita-wanita pun mendesak akan ikut pergi berperang. Mereka berunding lagi. Ada yang berpendapat supaya kaum wanita juga ikut serta. "Biar mereka bertugas merangsang kemarahan kamu, dan mengingatkan kamu kepada korban-korban Badr. Kita adalah masyarakat yang sudah bertekad mati, tidak akan pulang sebelum sempat melihat mangsa kita, atau kita sendiri mati untuk itu." "Saudara-saudara dari Quraisy," kata yang lain lagi. "Melepaskan wanita-wanita kita kepada musuh, bukanlah suatu pendapat yang baik. Apabila kalian mengalami kekalahan, wanita-wanita kitapun akan tercemar." Sementara mereka sedang dalam perundingan itu tiba-tiba Hindun bt. 'Utba, isteri Abu Sufyan berteriak kepada mereka yang menentang ikut sertanya kaum wanita itu: "Kamu yang selamat dari perang Badr kamu kembali kepada isterimu. Ya. Kita berangkat dan ikut menyaksikan peperangan. Jangan ada orang yang menyuruh kami pulang, seperti gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badr disuruh kembali ketika sudah sampai di Juhfa.3 Kemudian orang-orang yang menjadi kesayangan kita waktu itu terbunuh, karena tak ada orang yang dapat memberi semangat kepada mereka." Berangkat perang Akhirnya pihak Quraisy berangkat dengan membawa kaum wanitanya juga, dipimpin oleh Hindun. Dialah orang paling panas hati ingin membalas dendam, karena dalam peristiwa Badr itu ayahnya, saudaranya dan orang-orang yang dicintainya telah mati terbunuh. Keberangkatan Quraisy dengan tujuan Medinah yang disiapkan dari Dar'n-Nadwa itu terdiri dan tiga brigade. Brigade terbesar dipimpin oleh Talha b. Abi Talha terdiri dari 3000 orang. Kecuali 100 orang saja dari Thaqif,4 selebihnya semua dari Mekah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta golongan Ahabisynya. Perlengkapan dan senjata tidak sedikit yang mereka bawa, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000 unta, di antaranya 700 orang berbaju besi. Sesudah ada kata sepakat, sekarang sudah siap mereka akan berangkat. Sementara itu 'Abbas b. Abd'l-Muttalib, paman Nabi, yang juga berada di tengah-tengah mereka, dengan teliti dan saksama sekali memperhatikan semua kejadian itu. Disamping kesayangannya pada agama nenek-moyangnya dan agama golongannya sendiri, juga Abbas mempunyai rasa solider dan sangat mengagumi Muhammad. Masih ingat ia perlakuannya yang begitu baik ketika perang Badr. Mungkin karena rasa kagum dan solidernya itu yang membuat dia ikut Muhammad menyaksikan Ikrar 'Aqaba dan berbicara kepada Aus dan Khazraj bahwa kalau mereka tidak akan dapat mempertahankan kemenakannya itu seperti mempertahankan isteri dan anak-anak mereka sendiri, biarkan sajalah keluarganya sendiri yang melindunginya, seperti yang sudah-sudah. Hal inilah yang mendorongnya - tatkala diketahuinya keputusan Quraisy akan berangkat dengan kekuatan yang begitu besar - sampai ia menulis surat menggambarkan segala tindakan, persiapan dan perlengkapan mereka itu. Surat itu diserahkannya kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya disampaikan kepada Nabi. Dan orang inipun sampai di Medinah dalam tiga hari, dan surat itupun diserahkan. Dalam pada itu pasukan Quraisypun sudah pula berangkat sampai di Abwa'. Ketika melalui makam Aminah bt. Wahb, timbul rasa panas hati beberapa orang yang pendek pikiran. Terpikir oleh mereka akan membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak perbuatan demikian; supaya jangan kelak menjadi kebiasaan Arab. "Jangan menyebut-nyebut soal ini," kata mereka. "Kalau ini kita lakukan, Banu Bakr dan Banu Khuza'a akan membongkar juga kuburan mayat-mayat kita." Quraisy meneruskan perjalanan sampai di 'Aqiq, kemudian; mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil dari Medinah. Bagaimana Muhammad mengetahui Orang dari Ghifar yang diutus oleh Abbas b. Abd'l-Muttalib membawa surat ke Medinah itu telah sampai. Setelah diketahuinya berada di Quba', ia langsung pergi ke sana dan dijumpainya Muhammad di depan pintu mesjid sedang menunggang keledai Diserahkannya surat itu kepadanya, yang kemudian dibacakan oleh Ubay b. Ka'b. Muhammad minta isi surat itu supaya dirahasiakan, dan ia kembali ke Medinah langsung menemui Sa'd ibn'l-Rabi' di rumahnya. Diceritakannya apa yang telah disampaikan 'Abbas kepadanya itu dan juga dimintanya supaya hal itu dirahasiakan. Akan tetapi isteri Sa'd yang sedang dalam rumah waktu itu mendengar juga percakapan mereka, dan dengan demikian sudah tentu tidak lagi hal itu menjadi rahasia. Dua orang anak-anak Fudzala, yaitu Anas dan Mu'nis, oleh Muhammad ditugaskan menyelidiki keadaan Quraisy. Menurut pengamatan mereka kemudian ternyata Quraisy sudah mendekati Medinah. Kuda dan unta mereka dilepaskan di padang rumput sekeliling Medinah. Di samping dua orang itu kemudian Muhammad mengutus lagi Hubab ibn'l-Mundhir bin'l-Jamuh. Setelah keadaan mereka itu disampaikan kepadanya seperti dikabarkan oleh 'Abbas, Nabi s.a.w. jadi terkejut sekali. Ketika kemudian Salama b. Salama keluar, ia melihat barisan depan pasukan kuda Quraisy sudah mendekati Medinah, bahkan sudah hampir memasuki kota. Ia segera kembali dan apa yang dilihatnya itu disampaikannya kepada masyarakatnya. Sudah tentu pihak Aus dan Khazraj, begitu juga semua penduduk Medinah merasa kuatir sekali akan akibat serbuan ini, yang dalam sejarah perang, Quraisy belum pernah mengadakan persiapan sebaik itu. Pemuka-pemuka Muslimin dari penduduk Medinah malam itu berjaga-jaga dengan senjata di mesjid guna menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga ketat. Muslimin bermusyawarah: bertahan di Medinah atau menyongsong musuh di luar Keesokan harinya orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam - atau orang-orang munafik seperti disebutkan waktu itu dan seperti dilukiskan pula oleh Qur'an - oleh Nabi diminta berkumpul; lalu mereka sama-sama bermusyawarah, bagaimana seharusnya menghadapi musuh Nabi 'alaihi's-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan Quraisy di luar kota. Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota maka penduduk kota ini akan lebih mampu menangkis dan mengalahkan mereka. Abdullah b. Ubay b. Salul mendukung pendapat Nabi itu dengan mengatakan: "Rasulullah, biasanya kami bertempur di tempat ini, kaum wanita dan anak-anak sebagai benteng kami lengkapi dengan batu. Kota kami sudah terjalin dengan bangunan sehingga ia merupakan benteng dari segenap penjuru. Apabila musuh sudah muncul, maka wanita-wanita dan anak-anak melempari mereka dengan batu. Kami sendiri menghadapi mereka di jalan-jalan dengan pedang. Rasulullah, kota kami ini masih perawan, belum pernah diterobos orang. Setiap ada musuh menyerbu kami ke dalam kota ini kami selalu dapat menguasainya, dan setiap kami menyerbu musuh keluar, maka selalu kami yang dikuasai. Biarkanlah mereka itu. Rasulullah. Ikutlah pendapat saya dalam hal ini. Saya mewarisi pendapat demikian ini dari pemuka-pemuka dan ahli-ahli pikir golongan kami." Apa yang dikatakan oleh Abdullah b. Ubayy itu adalah merupakan pendapat terbesar sahabat-sahabat Rasulullah - baik Muhajirin ataupun Anshar, mereka sependapat dengan Rasul a.s. Akan tetapi pemuda-pemuda yang bersemangat yang belum mengalami perang Badr - juga orang-orang yang sudah pernah ikut dan mendapat kemenangan disertai hati yang penuh iman, bahwa tak ada sesuatu kekuatan yang dapat mengalahkan mereka - lebih suka berangkat keluar menghadapi musuh di tempat mereka berada. Mereka kuatir akan disangka segan keluar dan mau bertahan di Medinah karena takut menghadapi musuh. Seterusnya apabila mereka ini di pinggiran dan di dekat kota akan lebih kuat dari musuh. Ketika dulu mereka di Badr penduduk tidak mengenal mereka samasekali. Salah seorang diantara mereka ada yang berkata: "Saya tidak ingin melihat Quraisy kembali ketengah-tengah golongannya lalu mengatakan: Kami telah mengepung Muhammad di dalam benteng dan kubu-kubu Yathrib. Ini akan membuat Quraisy lebih berani. Mereka sekarang sudah menginjak-injak daun palm kita. Kalau tidak kita usir mereka dari kebun kita, kebun kita tidak akan dapat ditanami lagi. Orang-orang Quraisy yang sudah tinggal selama setahun dapat mengumpulkan orang, dapat menarik orang-orang Arab, dari badwinya sampai kepada Ahabisynya. Kemudian, dengan membawa kuda dan mengendarai unta, mereka kini telah sampai ke halaman kita. Mereka akan mengurung kita di dalam rumah kita sendiri? Didalam benteng kita sendiri? Lalu mereka pulang kembali dengan kekayaan tanpa mengalami luka samasekali. Kalau kita turuti, mereka akan lebih berani. Mereka akan menyerang kita dan menaklukkan daerah-daerah kita. Kota kita akan berada dibawah pengawasan mereka. Kemudian jalan kitapun akan mereka potong." Selanjutnya penganjur-penganjur yang menghendaki supaya keluar menyongsong musuh masing-masing telah berbicara berturut-turut. Mereka semua mengatakan, bahwa bila Tuhan memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh itu, itulah yang mereka harapkan, dan itu pula kebenaran yang telah dijanjikan Tuhan kepada RasulNya. Kalaupun mereka mengalami kekalahan dan mati syahid pula, mereka akan mendapat surga. Kata-kata yang menanamkan semangat keberanian dan mati syahid ini, sangat menggetarkan hati mereka. Jiwa mereka tergugah semua untuk sama-sama menempuh arus ini, untuk berbicara dengan nada yang sama. Waktu itu, bagi orang-orang yang kini sedang berhadap-hadapan dengan Muhammad, orang-orang yang hatinya sudah penuh dengan iman kepada Allah dan RasulNya, kepada Qur'an dan Hari Kemudian, yang tampak di hadapan mereka hanyalah wajah kemenangan terhadap musuh agresor itu. Pedang-pedang mereka akan mencerai-beraikan musuh itu, akan membuat mereka. centang-perenang, dan rampasan perang akan mereka kuasai. Lukisan surga adalah bagi mereka yang terbunuh di jalan agama. Di tempat itu akan terdapat segala yang menyenangkan hati dan mata, akan bertemu dengan kekasih yang juga sudah turut berperang dan mati syahid. "Ucapan yang sia-sia tidak mereka dengar di tempat itu, juga tidak yang akan membawa dosa. Yang ada hanyalah ucapan "Damai! Damai!" (Qur'an, 56: 25-26) "Mudah-mudahan Tuhan memberikan kemenangan kepada kita, atau sebaliknya kita mati syahid," kata Khaithama Abu Sa'd b. Khaithama. "Dalam perang Badr saya telah meleset. Saya sangat mendambakannya sekali, sehingga begitu besarnya kedambaan saya sampai saya bersama anak saya turut ambil bagian dalam pertempuran itu. Tapi kiranya dia yang beruntung; ia telah gugur, mati syahid. Semalam saya bermimpi bertemu dengan anak saya, dan dia berkata: Susullah kami, kita bertemu dalam surga. Sudah saya terima apa yang dijanjikan Tuhan kepada saya. Ya Rasulullah, sungguh rindu saya akan menemuinya dalam surga. Saya sudah tua, tulang sudah rapuh. Saya ingin bertemu Tuhan." Kalah dan menang Setelah jelas sekali suara terbanyak ada pada pihak yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Muhammad berkata kepada mereka: "Saya kuatir kamu akan kalah." Tetapi mereka ingin berangkat juga. Tak ada jalan lain iapun menyerah kepada pendapat mereka. Cara musyawarah ini sudah menjadi undang-undang dalam kehidupannya. Dalam sesuatu masalah ia tidak mau bertindak sendiri, kecuali yang sudah diwahyukan Tuhan kepadanya. Hari itu hari Jum'at. Nabi memimpin sembahyang jamaah, dan kepada mereka diberitahukan, bahwa atas ketabahan hati mereka itu, mereka akan beroleh kemenangan. Lalu dimintanya mereka bersiap-siap menghadapi musuh. Selesai sembahyang Asar Muhammad masuk kedalam rumahnya diikuti oleh Abu Bakr dan Umar. Kedua orang ini memakaikan sorban dan baju besinya dan ia mengenakan pula pedangnya. Sementara ia tak ada di tempat itu orang di luar sedang ramai bertukar pikiran. Usaid b. Hudzair dan Sa'd b. Mu'adh - keduanya termasuk orang yang berpendapat mau bertahan dalam kota berkata kepada mereka yang berpendapat mau menyerang musuh di luar: "Tuan-tuan mengetahui, Rasulullah berpendapat mau bertahan dalam kota, lalu tuan-tuan berpendapat lain lagi, dan memaksanya bertempur ke luar. Dia sendiri enggan berbuat demikian. Serahkan sajalah soal ini di tangannya. Apa yang diperintahkan kepadamu, jalankanlah. Apabila ada sesuatu yang disukainya atau ada pendapatnya, taatilah." Mendengar keterangan itu mereka yang menyerukan supaya menyerang saja, jadi lebih lunak. Mereka menganggap telah menentang Rasul mengenai sesuatu yang mungkin itu datang dari Tuhan. Setelah kemudian Nabi datang kembali ke tengah-tengah mereka, dengan memakai baju besi dan sudah pula mengenakan pedangnya, mereka yang tadinya menghendaki supaya mengadakan serangan berkata: "Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang tuan. Lakukanlah apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan." "Kedalam pembicaraan yang semacam inilah saya ajak tuan-tuan tapi tuan-tuan menolak," kata Muhammad. "Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu." Demikianlah prinsip musyawarah itu oleh Muhammad sudah dijadikan undang-undang dalam kehidupannya. Apabila sesuatu masalah yang dibahas telah diterima dengan suara terbanyak, maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau karena ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus dilaksanakan, tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang yang akan mencapai sukses. Nabi berangkat dari Medinah Sekarang Muhammad berangkat memimpin kaum Muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan5 ia berhenti. Dilihatnya di tempat itu ada sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal. Ketika ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan, bahwa mereka itu orang-orang Yahudi sekutu Abdullah b. Ubayy. Lalu kata Nabi 'alaihi'ssalam: "Jangan minta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik, - sebelum mereka masuk Islam." Dalam pada itu orang-orang Yahudi itupun kembali ke Medinah. Lalu kata sekutu Ibn Ubayy itu: "Kau sudah menasehatinya dan sudah kauberikan pendapatmu berdasarkan pengalaman orang-orang tua dahulu. Sebenarnya dia sependapat dengan kau. Lalu dia menolak dan menuruti kehendak pemuda-pemuda yang menjadi pengikutnya." Percakapan mereka itu sangat menyenangkan hati Ibn Ubayy. Keesokan harinya ia berbalik menggabungkan diri dengan pasukan teman-temanya itu. Tinggal lagi Alabi dengan orang-orang yang benar-benar beriman, yang berjumlah 700 orang, akan berperang menghadapi 3000 orang terdiri dan orang-orang Quraisy Mekah, yang kesemuanya sudah memikul dendam yang tak terpenuhi ketika di Badr. Semua mereka ingin menuntut balas. Pagi-pagi sekali; kaum Muslimin berangkat menuju Uhud. Lalu mereka memotong jalan sedemikian rupa sehingga pihak musuh itu berada di belakang mereka. Selanjutnya Muhammad mengatur barisan para sahabat. Limapuluh orang barisan pemanah ditempatkan di lereng-lereng gunung, dan kepada mereka diperintahkan: "Lindungi kami dan belakang, sebab kita kuatir mereka akan mendatangi kami dari belakang. Dan bertahanlah kamu di tempat itu, jangan ditinggalkan. Kalau kamu melihat kami dapat menghancurkan mereka sehingga kami memasuki pertahanan mereka, kamu jangan meninggalkan tempat kamu. Dan jika kamu lihat kami yang diserang jangan pula kami dibantu, juga jangan kami dipertahankan. Tetapi tugasmu ialah menghujani kuda mereka dengan panah, sebab dengan serangan panah kuda itu takkan dapat maju." Selain pasukan pemanah, yang lain tidak diperbolehkan menyerang siapapun, sebelum ia memberi perintah menyerang. Adapun pihak Quraisy merekapun juga sudah menyusun barisan. Barisan kanan dipimpin oleh Khalid bin'l-Walid sedang sayap kin dipimpin oleh 'Ikrima b. Abi Jahl. Bendera diserahkan kepada Abd'l 'Uzza Talha b. Abi Talha. Wanita-wanita Quraisy sambil memukul tambur dan genderang berjalan di tengah-tengah barisan itu. Kadang mereka di depan barisan, kadang di belakangnya. Mereka dipimpin oleh Hindun bt. 'Utba, isteri Abu Sufyan, seraya bertenak-teriak: Hayo, Banu Abd'd-Dar Hayo, hayo pengawal barisan belakang Hantamlah dengan segala yang tajam. Kamu maju kami peluk Dan kami hamparkan kasur yang empuk Atau kamu mundur kita berpisah Berpisah tanpa cinta. Berhadapan dengan lawan Kedua belah pihak sudah siap bertempur. Masing-masing sudah mengerahkan pasukannya. Yang selalu teringat oleh Quraisy ialah peristiwa Badr dan korban-korbannya. Yang selalu teringat oleh kaum Muslimin ialah Tuhan serta pertolonganNya. Muhammad berpidato dengan memberi semangat dalam menghadapi pertempuran itu. Ia menjanjikan pasukannya akan mendapat kemenangan apabila mereka tabah. Sebilah pedang dipegangnya sambil ia berkata: "Siapa yang akan memegang pedang ini guna disesuaikan dengan tugasnya?" Beberapa orang tampil. Tapi pedang itu tidak pula diberikan kepada mereka. Kemudian Abu Dujana Simak b. Kharasya dari Banu Sa'ida tampil seraya berkata: "Apa tugasnya, Rasulullah?" "Tugasnya ialah menghantamkan pedang kepada musuh sampai ia bengkok," jawabnya. Abu Dujana seorang laki-laki yang sangat berani. Ia mengenakan pita (kain) merah. Apabila pita merah itu sudah diikatkan orangpun mengetahui, bahwa ia sudah siap bertempur dan waktu itupun ia sudah mengeluarkan pita mautnya itu. Pedang diambilnya, pita dikeluarkan lalu diikatkannya di kepala. Kemudian ia berlagak di tengah-tengah dua barisan itu seperti biasanya apabila ia sudah siap menghadapi pertempuran. "Cara berjalan begini sangat dibenci Allah, kecuali dalam bidang ini," kata Muhammad setelah dilihatnya orang itu berlagak. Orang pertama yang mencetuskan perang di antara dua pihak itu adalah Abu 'Amir 'Abd 'Amr b. Shaifi al-Ausi (dari Aus). Orang ini sengaja pindah dari Medinah ke Mekah hendak membakar semangat Quraisy supaya memerangi Muhammad. Ia belum pernah ikut dalam perang Badr. Sekarang ia menerjunkan diri dalam perang Uhud dengan membawa lima belas orang dari golongan Aus. Ada juga budak-budak dari penduduk Mekah yang juga dibawanya. Menurut dugaannya, apabila nanti ia memanggil-manggil orang-orang Islam dari golongan Aus yang ikut berjuang di pihak Muhammad, niscaya mereka akan memenuhi panggilannya, akan berpihak kepadanya dan membantu Quraisy. "Saudara-saudara dari Aus! Saya adalah Abu 'Amir!" teriaknya memanggil-manggil. Tetapi Muslimin dari kalangan Aus itu membalas: "Tuhan takkan memberikan kesenangan kepadamu, durhaka!" Perangpun lalu pecah. Budak-budak Quraisy serta 'Ikrima b. Abi Jahl yang berada di sayap kiri, berusaha hendak menyerang Muslimin dari samping, tapi pihak Muslimin menghujani mereka dengan batu sehingga Abu 'Amir dan pengikut-pengikutnya lari tunggang-langgang. Ketika itu juga Hamzah b. Abd'l-Muttalib berteriak, membawa teriakan perang Uhud: "Mati, mati!" Lalu ia terjun ketengah-tengah tentara Quraisy itu. Ketika itu Talha b. Abi Talha, yang membawa bendera tentara Mekah berteriak pula: "Siapa yang akan duel?" Lalu Ali b. Abi Talib tampil menghadapinya. Dua orang dari dua barisan itu bertemu. Cepat-cepat Ali memberikan satu pukulan, yang membuat kepala lawannya itu belah dua. Nabi merasa lega dengan itu. Ketika itu juga kaum Muslimin bertakbir dan melancarkan serangannya. Dengan pedang Nabi di tangan dan mengikatkan pita maut di kepala, Abu Dujane pun terjun kedepan. Dibunuhnya setiap orang yang dijumpainya. Barisan orang-orang musyrik jadi kacau-balau. Kemudian ia melihat seseorang sedang mencencang-cencang sesosok tubuh manusia dengan keras sekali. Diangkatnya pedangnya dan diayunkannya kepada orang itu. Tetapi ternyata orang itu adalah Hindun bt. 'Utba. Ia mundur. Terlalu mulia rasanya pedang Rasul akan dipukulkan kepada seorang wanita. Dengan secara keras sekali pihak Quraisypun menyerbu pula ke tengah-tengah pertempuran itu. Darahnya sudah mendidih ingin menuntut balas atas pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka mereka yang sudah tewas setahun yang lalu di Badr. Dua kekuatan yang tidak seimbang itu, baik jumlah orang maupun perlengkapan, sekarang berhadap-hadapan. Kekuatan dengan jumlah yang besar ini motifnya adalah balas-dendam, yang sejak perang Badr tidak pernah reda. Sedang jumlah yang lebih kecil motifnya adalah: pertama mempertahankan akidah, mempertahankan iman dan agama Allah, kedua mempertahankan tanah air dan segala kepentingannya. Mereka yang menuntut bela itu terdiri dari orang-orang yang lebih kuat dan jumlah pasukan yang lebih besar. Di belakang mereka itu kaum wanita turut pula mengobarkan semangat. Tidak sedikit di antara mereka yang membawa budak-budak itu menjanjikan akan memberikan hadiah yang besar apabila mereka dapat membalaskan dendam atas kematian seorang bapa, saudara, suami atau orang-orang yang dicintai lainnya, yang telah terbunuh di Badr. Hamzah b. Abd'l-Muttalib adalah seorang pahlawan Arab terbesar dan paling berani. Ketika terjadi perang Badr dialah yang telah menewaskan ayah dan saudara Hindun, begitu juga tidak sedikit orang-orang yang dicintainya yang telah ditewaskan. Seperti juga dalam perang Badr, dalam perang Uhud inipun Hamzah adalah singa dan pedang Tuhan yang tajam. Ditewaskannya Arta b. 'Abd Syurahbil, Siba' b. 'Abd'l-'Uzza al-Ghubsyani, dan setiap musuh yang dijumpainya nyawa mereka tidak luput dari renggutan pedangnya. Sementara itu Hindun bt. 'Utba telah pula menjanjikan Wahsyi, orang Abisinia dan budak Jubair (b. Mut'im) akan memberikan hadiah besar apabila ia berhasil membunuh Hamzah. Begitu juga Jubair b. Mut'im sendiri, tuannya, yang pamannya telah terbunuh di Badr, mengatakan kepadanya: "Kalau Hamzah paman Muhammad itu kau bunuh, maka engkau kumerdekakan." Wahsyi sendiri dalam hal ini bercerita sebagai berikut: "Kemudian aku berangkat bersama rombongan. Aku adalah orang Abisinia yang apabila sudah melemparkan tombak cara Abisinia, jarang sekali meleset. Ketika terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia. Kemudian kulihat dia di tengah-fengah orang banyak itu seperti seekor unta kelabu sedang membabati orang dengan pedangnya. Lalu tombak kuayunkan-ayunkan, dan sesudah pasti sekali kulemparkan. Ia tepat mengenai sasaran di bawah perutnya, dan keluar dari antara dua kakinya. Kubiarkan tombak itu begitu sampai dia mati. Sesudah itu kuhampiri dia dan kuambil tombakku itu, lalu aku kembali ke markas dan aku diam di sana, sebab sudah tak ada tugas lain selain itu. Kubunuh dia hanya supaya aku dimerdekakan saja dari perbudakan. Dan sesudah aku pulang ke Mekah, ternyata aku dimerdekakan." Adapun mereka yang berjuang mempertahankan tanah-air, contohnya terdapat pada Quzman, salah seorang munafik, yang hanya pura-pura Islam. Ketika kaum Muslimin berangkat ke Uhud ia tinggal di belakang. Keesokan harinya, ia mendapat hinaan dari wanita-wanita Banu Zafar. "Quzman," kata wanita-wanita itu. "Tidak malu engkau dengan sikapmu itu. Seperti perempuan saja kau. Orang semua berangkat kau tinggal dalam rumah." Dengan sikap berang Quzman pulang ke rumahnya. Dikeluarkannya kudanya, tabung panah dan pedangnya. Ia dikenal sebagai seorang pemberani. Ia berangkat dengan memacu kudanya sampai ke tempat tentara. Sementara itu Nabi sedang menyusun barisan Muslimin. Ia terus menyeruak sampai ke barisan terdepan. Dia adalah orang pertama dari pihak Muslimin yang menerjunkan diri, dengan melepaskan panah demi panah, seperti tombak layaknya. Hari sudah menjelang senja. Tampaknya ia lebih suka mati daripada lari. Ia sendiri lalu membunuh diri sesudah sempat membunuh tujuh orang Quraisy di Suway'a - selain mereka yang telah dibunuhnya pada permulaan pertempuran. Tatkala ia sedang sekarat itu, Abu'l-Khaidaq lewat di tempat itu. "Quzman, beruntung kau akan mati syahid," katanya. "Abu 'Amr," kata Quzman. "Sungguh saya bertempur bukan atas dasar agama. Saya bertempur hanya sekadar menjaga jangan sampai Quraisy memasuki tempat kami dan melanda kehormatan kami, menginjak-injak kebun kami. Saya berperang hanya untuk menjaga nama keturunan masyarakat kami. Kalau tidak karena itu saya tidak akan berperang." Sebaliknya mereka yang benar-benar beriman, jumlahnya tidak lebih dari 700 orang. Mereka bertempur melawan 3000 orang. Kita sudah melihat, tindakan Hamzah dan Abu Dujana yang telah memperlihatkan suatu teladan dalam arti kekuatan moril yang tinggi pada mereka itu. Suatu kekuatan yang telah membuat barisan Quraisy jadi lemas seperti rotan, membuat pahlawan-pahlawan Quraisy, yang tadinya di kalangan Arab keberaniannya dijadikan suri teladan, telah mundur dan surut. Setiap panji mereka lepas dari tangan seseorang, panji itu diterima oleh yang lain di belakangnya. Setelah Talha b. Abi Talha tewas di tangan Ali datang 'Uthman b. Abi Talha menyambut bendera itu, yang juga kemudian menemui ajalnya di tangan Hamzah. Seterusnya bendera itu dibawa oleh Abu Sa'd b. Abi Talha sambil berkata: "Kamu mendakwakan bahwa koban-korban kamu dalam surga dan korban-korban kami dalam neraka! Kamu bohong! Kalau kamu benar-benar orang beriman majulah siapa saja yang mau melawanku": Entah Ali atau Sa'd b. Abi Waqqash ketika itu menghantamkan pedangnya dengan sekali pukul hingga kepala orang itu terbelah. Berturut-turut pembawa bendera itu muncul dari Banu Abd'd Dar. Jumlah mereka yang tewas telah mencapai sembilan orang, yang terakhir ialah Shu'ab orang Abisinia, budak Banu Abd'd-Dar. Tangan kanan orang itu telah dihantam oleh Quzman, maka bendera itu dibawanya dengan tangan kiri. Tangan kiri inipun oleh Quzman dihantam lagi dengan pedangnya. Sekarang bendera itu oleh Shu'ab dipeluknya dengan lengan ke dadanya, kemudian ia membungkuk sambil berkata: Hai Banu Abd'd-Dar, sudahkah kau maafkan? Lalu ia ditewaskan entah oleh Quzman atau oleh Sa'd bin Abi Waqqash, sumbernya masih berbeda-beda. Setelah mereka yang membawa bendera itu tewas semua, pasukan orang-orang musyrik itu hancur. Mereka sudah tidak tahu lagi bahwa mereka dikerumuni oleh wanita-wanita, bahwa berhala yang mereka mintai restunya telah terjatuh dari atas unta dan pelangking yang membawanya. Kemenangan Muslimin dalam perang Uhud pada pagi hari itu sebenarnya adalah suatu mujizat. Adakalanya orang menafsirkan, bahwa kemenangan itu disebabkan oleh kemahiran Muhammad mengatur barisan pemanah di lereng bukit, merintangi pasukan berkuda dengan anak panah sehingga mereka tidak dapat maju, juga tidak dapat menyergap Muslimin dari belakang. Ini memang benar. Tetapi juga tidak salah, bahwa 600 orang Muslimin yang menyerbu jumlah sebanyak lima kali lipat itupun, dengan perlengkapan yang juga demikian, motifnya adalah iman, iman yang sungguh-sungguh, bahwa mereka dalam kebenaran. Inilah yang membawa mujizat kepahlawanan melebihi kepandaian pimpinan. Barangsiapa yang telah beriman kepada kebenaran, ia takkan goncang oleh kekuatan materi, betapapun besarnya. Semua kekuatan batil yang digabungkan sekalipun, takkan dapat menggoyahkan kebulatan tekadnya itu. Dapatkah kita menganggap cukup dengan kepandaian pimpinan itu saja, padahal barisan pemanah yang oleh Nabi ditempatkan di lereng bukit itu jumlahnya tidak lebih dari 50 orang? Andaikata sekalipun mereka itu terdiri dari 200 orang atau 300 orang, mendapat serbuan dari mereka yang sudah bertekad mati, niscaya mereka tidak akan dapat bertahan. Tetapi kekuatan yang terbesar, ialah kekuatan konsepsi, kekuatan akidah, kekuatan iman yang sungguh-sungguh akan adanya Kebenaran Tertinggi. Kekuatan inilah yang takkan dapat ditaklukkan selama orang masih teguh berpegang kepada kebenaran itu. Karena itulah, 3000 orang pasukan berkuda Quraisy jadi hancur menghadapi serangan 600 orang Muslimin. Dan hampir-hampir pula wanita-wanita merekapun akan menjadi tawanan perang yang hina dina. Muslimin kini mengejar musuh itu sampai mereka meletakkan senjata dimana saja asal jauh dari bekas markas mereka. Kaum Muslimin sekarang mulai memperebutkan rampasan perang. Alangkah banyaknya jumlah rampasan perang itu! Hal ini membuat mereka lupa mengikuti terus jejak musuh, karena sudah mengharapkan kekayaan duniawi. Mereka ini ternyata dilihat oleh pasukan pemanah yang oleh Rasul diminta jangan meninggalkan tempat di gunung itu, sekalipun mereka melihat kawan-kawannya diserang. Dengan tak dapat menahan air liur melihat rampasan perang itu, kepada satu sama lain mereka berkata: "Kenapa kita masih tinggal disini juga dengan tidak ada apa-apa. Tuhan telah menghancurkan musuh kita. Mereka, saudara-saudara kita itu, sudah merebut markas musuh. Kesanalah juga kita, ikut mengambil rampasan itu." Yang seorang lagi tentu menjawab: "Bukankah Rasulullah sudah berpesan jangan meninggalkan tempat kita ini? Sekalipun kami diserang janganlah kami dibantu." Yang pertama berkata lagi: "Rasulullah tidak menghendaki kita tinggal disini terus-menerus, setelah Tuhan menghancurkan kaum musyrik itu." Lalu mereka berselisih. Ketika itu juga tampil Abdullah bin Jubair berpidato agar jangan mereka itu melanggar perintah Rasul. Tetapi mereka sebahagian besar tidak patuh. Mereka berangkat juga. Yang masih tinggal hanya beberapa orang saja, tidak sampai sepuluh orang. Seperti kesibukan Muslimin yang lain, mereka yang ikut bergegas itu pun sibuk pula dengan harta rampasan. Pada waktu itulah Khalid bin'l-Walid mengambil kesempatan - dia sebagai komandan kavaleri Mekah - pasukannya dikerahkan ke tempat pasukan pemanah, dan mereka inipun berhasil dikeluarkan dari sana. Tindakan ini tidak disadari oleh pihak Muslimin. Mereka sangat sibuk untuk memperhatikan soal itu atau soal apapun, karena sedang menghadapi harta rampasan perang yang mereka keduk habis-habisan itu, sehingga tiada seorangpun yang membiarkan apa saja yang dapat mereka ambil. Sementara mereka sedang dalam keadaan serupa itu, tiba-tiba Khalid bin'l-Walid berseru sekuat-kuatnya, dan sekaligus pihak Quraisypun mengerti, bahwa ia telah dapat membalikkan anak buahnya ke belakang tentara Muslimin. Mereka yang tadinya sudah terpukul mundur sekarang kembali lagi maju dan mendera Muslimin dengan pukulan maut yang hebat sekali. Di sinilah giliran bencana itu berbalik. Setiap Muslim telah melemparkan kembali hasil renggutan yang sudah ada di tangan itu, dan kembali pula mereka mencabut pedang hendak bertempur lagi. Tetapi sayang, sayang sekali! Barisan sudah centang-perenang, persatuan sudah pecah-belah, pahlawan-pahlawan teladan dari kalangan Muslimin telah dihantam oleh pihak Quraisy. Mereka yang tadinya berjuang dengan perintah Tuhan hendak mempertahankan iman, sekarang berjuang hendak menyelamatkan diri dari cengkaman maut, dari lembah kehinaan. Mereka yang tadinya berjuang dengan bersatu-padu, sekarang mereka berjuang dengan bercerai-berai. Tak tahu lagi haluan hendak kemana. Tadinya mereka berjuang di bawah satu pimpinan yang kuat dan teguh, sekarang berjuang tanpa pimpinan lagi. Jadi tidak heran, apabila ada seorang Muslim menghantamkan pedangnya kepada sesama Muslim dengan tiada disadarinya. Dalam pada itu terdengar pula ada suara orang berteriak-teriak, bahwa Muhammad sudah terbunuh. Keadaan makin panik, makin kacau-balau. Kaum Muslimin jadi berselisih, jadi saling bunuh-membunuh, satu sama lain saling hantam-menghantam, dengan tiada mereka sadari lagi karena mereka sudah tergopoh-gopoh, sudah kebingungan. Kaum Muslimin telah membunuh sesama Muslim, Husail b. Jabir membunuh Abu Hudhaifa karena sudah tidak diketahuinya lagi. Yang paling penting bagi setiap Muslim ialah menyelamatkan diri; kecuali mereka yang telah mendapat perlindungan Tuhan, seperti Ali b. Abi Talib misalnya. Akan tetapi begitu Quraisy mendengar Muhammad telah terbunuh, seperti banjir mereka terjun mengalir ke jurusan tempat dia tadinya berada. Masing-masing ingin supaya dialah yang membunuhnya atau ikut memegang peranan didalamnya, suatu hal yang akan dibanggakan oleh generasi kemudian. Ketika itulah Muslimin yang dekat sekali dengan Nabi bertindak mengelilinginya, menjaga dan melindunginya. Iman mereka telah tergugah kembali memenuhi jiwa, mereka kembali mendambakan mati, dan hidup duniawi ini dirasanya sudah tak ada arti lagi. Iman mereka makin besar, keberanian mereka makin bertambah bilamana mereka melihat batu yang dilemparkan Quraisy itu telah mengenai diri Nabi. Gigi gerahamnya yang setelah terkena, wajahnya pecah-pecah dan bibirnya luka-luka. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang menutupi wajahnya, telah menusuk pula menembusi pipinya. Batu-batu yang menimpanya itu dilemparkan oleh 'Utba b. Abi Waqqash. Sekarang Rasul dapat menguasai diri. Ia berJalan sambil dikelilingi oleh sahabat-sahabat. Tetapi tiba-tiba ia terperosok kedalam sebuah lubang yang sengaja digali oleh Abu 'Amir guna menjerumuskan kaum Muslimin. Cepat-cepat Ali b. Abi Talib menghampirinya, dipegangnya tangannya, dan Talha bin 'Ubaidillah mengangkatnya hingga ia berdiri kembali. Ia meneruskan perjalanan dengan sahabat-sahabatnya itu, terus mendaki Gunung Uhud, dan dengan demikian dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh. Pada waktu itu juga Muslimin berkumpul di sekitar mereka. Dalam membela Rasul dan menjaga keselamatannya, mereka bersedia mati. Hari itu menjelang tengah hari, Umm 'Umara6 seorang wanita Anshar, berangkat pula membawa air berkeliling dengan membagi-bagikan air itu kepada Muslimin yang sedang berjuang itu. Setelah melihat Muslimin terpukul mundur, dilemparkannya tempat air itu dan dengan menghunus pedang wanita itu terjun pula ikut bertempur, Ikut melindungi Muhammad dengan pedang dan dengan melepaskan anak panah, sehingga karenanya dia sendiri mengalami luka-luka. Sementara Abu Dujana membuat dirinya sebagai perisai melindungi Rasulullah, dengan membungkukkan punggungnya, sehingga lemparan anak panah musuh mengenai dirinya. Sedang disamping Muhammad Sa'd b. Abi Waqqash melepaskan pula panahnya dan Muhammad memberikan anak panah itu seraya berkata: "Lepaskan (anak panah itu). Kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu."7 Sebelum itu Muhammad melepaskan sendiri anak panahnya, sampai-sampai ujung busurnya itu patah. Adapun mereka yang mengira Muhammad telah tewas termasuk diantara mereka itu Abu Bakr dan Umar pergi ke arah gunung dan mereka ini sudah pasrah. Hal ini diketahui oleh Anas bin'n-Nadzr yang lalu berkata kepada mereka: "Kenapa kamu duduk-duduk di sini?" "Rasulullah sudah terbunuh," jawab mereka. "Perlu apa lagi kita hidup sesudah itu? Bangunlah! Dan biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama." Kemudian ia maju menghadapi musuh. Ia bertempur mati-matian, bertempur tiada taranya. Akhimya ia baru menemui ajalnya setelah mengalami tujuhpuluh pukulan musuh, sehingga ketika itu orang tidak dapat lagi mengenalnya, kalau tidak karena saudara perempuannya yang datang dan dapat mengenal dia dari ujung jarinya. Karena sudah percaya sekali akan kematian Muhammad, bukan main girangnya pihak Quraisy waktu itu, Abu Sufyanpun sibuk pula mencarinya di tengah-tengah para korban. Soalnya ialah mereka yang telah menjaga keselamatan Rasulullah tidak membantah berita kematiannya itu, sebab memang diperintahkan demikian oleh Rasul, dengan maksud supaya pihak Quraisy jangan sampai memperbanyak lagi jumlah pasukannya yang berarti akan memberikan kemenangan kepada mereka. Akan tetapi tatkala Ka'b bin Malik datang mendekati Abu Dujana dan anak buahnya, ia segera mengenal Muhammad waktu dilihatnya sinar matanya yang berkilau dan balik topi besi penutup mukanya itu. Ia memanggil-manggil dengan suara yang sekeras-kerasnya: "Saudara-saudara kaum Muslimin! Selamat, selamat! Ini Rasulullah!" Ketika itu Nabi memberi isyarat kepadanya supaya diam. Tetapi begitu Muslimin mengetahui hal itu, Nabi segera mereka angkat dan iapun berjalan pula bersama mereka ke arah celah bukit didampingi oleh Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib, Zubair bin'l-'Awwam dan yang lain. Teriakan Ka'b itu pada pihak Quraisy juga ada pengaruhnya. Memang benar, bahwa sebahagian besar mereka tidak mempercayai teriakan itu, sebab menurut anggapan mereka itu hanya untuk memperkuat semangat kaum Muslimin saja. Tetapi dari mereka itu ada juga yang lalu segera pergi mengikuti Muhammad dan rombongannya itu dari belakang. Ubayy b. Khalaf kemudian dapat menyusul mereka, dan lalu bertanya: "Mana Muhammad?! Aku tidak akan selamat kalau dia yang masih selamat," katanya. Waktu itu juga oleh Rasul ia ditetaknya dengan tombak Harith bin'sh-Shimma demikian rupa, sehingga ia terhuyung-huyung diatas kudanya dan kembali pulang untuk kemudian mati di tengah jalan. Sesampainya Muslimin di ujung bukit itu, Ali pergi lagi mengisi air ke dalam perisai kulitnya. Darah yang di wajah Muhammad dibasuhnya serta menyirami kepalanya dengan air. Dua keping pecahan rantai besi penutup muka yangmenembus wajah Rasul itu oleh Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah dicabut sampai dua buah gigi serinya tanggal. Selama mereka dalam keadaan itu tiba-tiba Khalid bin'l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah berada di atas bukit. Tetapi Umar bin'l-Khattab dengan beberapa orang sahabat Rasul segera menyerang dan berhasil mengusir mereka. Sementara itu orang-orang Islam sudah makin tinggi mendaki gunung. Tetapi keadaan mereka sudah begitu payah, begitu letih tampaknya, sampai-sampai Nabi melakukan salat lohor sambil duduk - juga karena luka-luka yang dideritanya, - demikian juga kaum Muslimin yang lain melakukan salat makmum di belakangnya, sambil duduk pula. Sebaliknya pihak Quraisy dengan kemenangannya itu mereka sudah girang sekali. Terhadap peristiwa perang Badr mereka merasa sudah sungguh-sungguh dapat membalas dendam. Seperti kata Abu Sufyan: "Yang sekarang ini untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!" Tetapi isterinya, Hindun bint 'Utba tidak cukup hanya dengan kemenangan, dan tidak cukup hanya dengan tewasnya Hamzah b. Abd'l-Muttalib, malah bersama-sama dengan warõita wanita lain dalam rombongannya itu ia pergi lagi hendak menganiaya mayat-mayat Muslimin; mereka memotongi telinga-telinga dan hidung-hidung mayat itu, yang oleh Hindun lalu dipakainya sebagai kalung dan anting-anting. Kemudian diteruskannya lagi, dibedahnya perut Hamzah, dikeluarkannya jantungnya, lalu dikunyahnya dengan giginya; tapi ia tak dapat menelannya. Begitu kejinya perbuatannya itu, begitu juga perbuatan wanita-wanita anggota rombongannya, bankan kaum prianyapun turut pula melakukan kejahatan serupa itu, sehingga Abu Sufyan sendiri menyatakan lepas tangan dari perbuatan itu. Ia menyatakan, bahwa dia samasekali tidak memerintahkan orang berbuat serupa itu, sekalipun dia sudah terlibat di dalamnya. Bahkan ia pernah berkata, yang ditujukan kepada salah seorang Islam. "Mayat-mayatmu telah mengalami penganiayaan. Tapi aku sungguh tidak senang, juga tidak benci; aku tidak melarang, juga tidak memerintahkan." Selesai menguburkan mayat-mayatnya sendiri. Quraisypun pergi. Sekarang kaum Muslimin kembali ke garis depan guna menguburkan mayat-mayatnya pula. Kemudian Muhammad pergi hendak mencari Hamzah, pamannya. Bilamana kemudian ia melihatnya sudah dianiaya dan perutnya sudah dibedah, ia merasa sangat sedih sekali, sehingga ia berkata: "Takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti kau ini. Belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti kejadian ini." Lalu katanya lagi: "Demi Allah, kalau pada suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab." Dalam kejadian inilah firman Tuhan turun. " Dan kalau kamu mengadakan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi kalau kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka yang berhati tabah (sabar). Dan hendaklah kau tabahkan hatimu, dan ketabahan hatimu itu hanyalah dengan berpegang kepada Tuhan. Jangan pula engkau bersedih hati terhadap mereka, jangan engkau bersesak dada menghadapi apa yang mereka rencanakan itu." (Qur'an, 16: 126 - 127) Lalu Rasulullah memaafkan mereka, ditabahkannya hatinya dan ia melarang orang melakukan penganiayaan. Diselubunginya jenazah Hamzah itu dengan mantelnya lalu disembahyangkannya. Ketika itu Shafia bt Abd'l-Muttailb - saudara perempuannya - juga datang. Ditatapnya saudaranya itu, lalu ia pun menyembahyangkannya dan mendoakan pengampunan baginya. Nabi memerintahkan supaya korban-korban itu dikuburkan di tempat mereka menemui ajalnya dan Hamzah juga dikuburkan. Sesudah itu kaum Muslimin berangkat pulang ke Medinah, dibawah pimpinan Muhammad, dengan meninggalkan 70 orang korban. Kepedihan terasa sekali melecut hati mereka; karena kehancuran yang mereka alami setelah mendapat kemenangan, karena rasa hina serta rendah diri yang menimpa mereka, setelah mendapat sukses yang gilang-gemilang. Semua kejadian itu ialah karena pasukan pemanah sudah melanggar perintah Nabi. Muslimin sudah terlalu sibuk mengurus rampasan perang dari pihak musuh. Nabi memasuki rumahnya dengan penuh pikiran. Orang-orang Yahudi, orang-orang munafik dan musyrik di Yathrib memperlihatkan perasaan gembira yang luarbiasa melihat kehancuran yang dialaminya dan dialami sahabat-sahabatnya itu. Kewibawaan Muslimin di Medinah yang sudah mulai stabil, dan tak ada lagi pihak yang merongrongnya, sekarang sudah hampir pula goncang dan goyah. Abdullah b. Ubayy b. Salul sudah berbalik dari rombongan itu, ia pulang kembali dari Uhud, tidak ikut serta dalam pertempuran, dengan alasan bahwa karena Muhammad tidak mau menerima pendapatnya, atau karena Muhammad marah kepada orang-orang Yahudi anak buahnya. Sekiranya kekalahan Uhud itu merupakan keputusan terakhir dalam hubungannya antara Muslimin dengan Quraisy yang akan menentukan kedudukan Muhammad dan sahabat-sahabatnya di kalangan Arab, tentu kewibawaan mereka di Yathrib akan goyah dan akan menjadi sasaran ejekan Quraisy. Di mana-mana di seluruh jazirah Arab akan disebarkan pula cemoohan-cemoohan demikian itu. Sekiranya ini jugalah yang terjadi tentu akibatnya akan memberikan keberanian kepada orang-orang musyrik dan penyembah-penyembah berhala terhadap agama Allah. Maka ini berarti suatu bencana besar. Oleh karena itu harus ada pukulan yang benar-benar berani, yang akan dapat mengurangi beban kekalahan selama di Uhud, akan mengembalikan kekuatan moril Muslimin dan sekaligus dapat menimbulkan kegentaran pada pihak Yahudi dan orang-orang munafik. Dengan demikian kewibawaan Muhammad dan sahabat-sahabatnya di Yathrib akan kembali kuat seperti sediakala. Keesokan harinya setelah peristiwa Uhud - yang terjadi pada malam 16 Syawal (tahun ke 5 Hijrah) - salah seorang muazzin Nabi berseru kepada Muslimin dan mengerahkan mereka supaya bersiap-siap menghadapi musuh dan mengadakan pengejaran. Tetapi yang dimintanya hanya mereka yang pernah turut dalam peperangan itu. Setelah kaum Muslimin berangkat, pihak Abu Sufyan merasa ketakutan sekali, bahwa musuhnya yang dari Medinah itu sekarang datang dengan bantuan baru. Tidak berani ia menghadapi mereka. Sementara itu Muhammad pun sudah sampai pula di Hamra' 'l-Asad.8 Sedang Abu Sufyan dan teman-temannya berada di Rauha'. Waktu itu Ma'bad al-Khuza'i lewat dan sebelumnya ia sudah pula lewat di tempat Muhammad dan rombongannya itu. Ia ditanya oleh Abu Sufyan tentang keadaan mereka itu, yang oleh Ma'bad - ketika itu ia masih dalam syirik -dijawab: "Muhammad dan sahabat-sahabatnya sudah berangkat mau mencari kamu, dalam jumlah yang belum pernah kulihat semacam itu. Orang-orang yang dulunya tidak ikut, sekarang mereka menggabungkan diri dengan dia. Mereka semua terdiri dari orang-orang yang sangat geram kepadamu, orang-orang yang hendak membalas dendam." Abu Sufyan dan Quraisy kembali ke Mekah Akan terpikir juga oleh Abu Sufyan bagaimana pula nanti akibatnya apabila ia lari dari Muhammad dan tidak sampai memghadapinya sesudah ia pernah mendapat kemenangan?! Bukankah Quraisy nanti akan dicemooh oleh orang-orang Arab seperti yang pernah diinginkannya akan terjadi demikian terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya?! Baiklah, misalnya ia kembali menghadapi Muhammad lalu ia dikalahkan oleh Muslimin, bukanlah itu berarti bahwa bagi Quraisy sudah tamat riwayatnya dan tidak akan pernah bangun kembali!? Lalu dicarinya suatu helat, diusutnya sebuah kafilah dari suku Abd'l-Qais pergi ke Medinah dengan memberitahukan kepada Muhammad bahwa ia (Abu Sufyan) sudah memutuskan akan berangkat menyerbu, dia dan sahabat-sahabatnya akan digempur dan dikikis habis sampai ke sisa-sisanya. Setelah oleh rombongan pesan itu disampaikan kepada Muhammad di Hamra' 'l-Asad, sedikitpun semangat dan ketabahannya tidak goyah. Bahkan sepanjang malam selama tiga hari itu terus-menerus ia memasang api unggun, sekalian mau menunjukkan kepada Quraisy bahwa ia tetap siap-siaga dan menunggu kedatangan mereka. Akhirnya semangat Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy jadi buyar sendiri. Mereka lebih suka bertahan dengan kemenangan di Uhud itu. Kemudian merekapun kembali pulang menuju arah ke Mekah. Muhammad juga lalu kembali ke Medinah. Sudah banyak posisi yang dapat diambil kembali setelah tadinya mengalami kegoyahan akibat peristiwa Uhud itu, meskipun kaum munafik mulai pula mengangkat kepala menertawakan kaum Muslimin sambil menanyakan: Kalau peristiwa Badr itu merupakan pertanda dari Tuhan atas kerasulan Muhammad, maka dengan peristiwa Uhud itu apa pula konon pertandanya dan apa yang akan jadi alamatnya??! Catatan kaki: 1 Uhud, sebuah gunung, terletak sebelah utara Medinah (A). 2 Ahabisy ialah suatu gabungan kabilah-kabilah dan suku-suku kecil, dengan al-Harith b. 'Abd Manaf b. Kinana sebagai pemukanya. Hubungan mereka dekat sekali dengan Quraisy (A). 3 Juhfa sebuah tempat sepanjang jalan Medinah-Mekah, tiga atau empat hari perjaianan dari Mekah; juga merupakan tempat pertemuan orang-orang Mesir dan Syam. 4 Sebuah kabilah dari Ta'if (A) 5 Syaikhan nama sebuah tempat; pada masa Jahiliah konon di tempat itu terdapat dua buah kubu untuk dua orang tua yang buta, pria dan wanita, yang sedang bercakap-cakap. Maka tempat itu dinamai asy-Syaikhan (harfiah berarti dua orang tua). 6 Namanya Nasiba, isteri Zaid b. 'Ashim (A). 7 Diucapkan sebagai tanda cinta dan mendoakan kebaikan kepadanya (A). 8 Sebuah tempat sejauh 8 mil dari Medinah.
Ringkasan Peperangan Peperangan ini dimulai oleh orang kafir untuk melakukan balas dendam terhadap kekalahan mereka di Perang Badar, dimana tujuh puluh orang pemimpin terkemuka mereka terbunuh dan tujuh puluh orang lainnya ditangkap, sementara hanya empat belas orang Muslim yang mati syahid. Orang kafir terdiri dari tiga ribu orang tentara, tiga ribu ekor unta dan dua ratus ekor kuda. Juga terdapat lima belas orang wanita didalam angkatan perang ini yang bertindak sebagai pemandu sorak atau pemberi semangat. Angkatan perang kaum Muslim pada awalnya hanya terdiri dari seribu orang tentara. Ketika pasukan Muslim mendekati gunung Uhud, Abdullah bin Obey, dan kepala orang munafik, tiba-tiba meninggalkan angkatan perang kaum Muslim dan kembali ke Madinah dengan para pengikut yang tiga ratus orang. Bapaknya Jaber mengingatkan mereka akan tugas mereka kepada Allah SWT tetapi mereka tidak mendengarkannya. Allah SWT menerangkan tentang orang munafik ini di dalam Ali Imran 167. dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)”. Mereka berkata: “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu”. Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. Akhirnya dua angkatan perang berhadapan satu sama lain di dekat gunung Uhud. Nabi SAW mengatur strategi peperangan dengan sempurna dalam penempatan pasukannya. Beberapa orang pemanah ditempatkan pada suatu bukit kecil untuk menghalang majunya musuh. Pada awalnya musuh menderita kekalahan. Sehingga banyak dari para pemanah Muslim meninggalkan pos-pos mereka untuk mengumpulkan barang rampasan. Musuh mengambil kesempatan ini dan menyerang angkatan perang Muslim dari arah bukit ini. Banyak dari kaum Muslim yang mati syahid dan bahkan Nabi SAW mengalami luka yang sangat parah. Orang kafir merusak mayat-mayat kaum Muslim dan menuju Makkah dengan merasa suatu kesuksesan. Rincian Peperangan Marilah kita lihat kembali sedikit peristiwa peperangan ini ketika sekitar beberapa ratus kaum Muslim memerangi tiga ribu orang kafir yang jauh lebih banyak. Pada awalnya Zubair bin Awwam RA, Saad bin Abi Waqas RA, Asim bin Tsabit RA, Ali RA dan Hamzah RA telah membunuh sepuluh orang dari keluarga yang sama dan tidak ada yang tinggal dari keluarga ini untuk membawa bendera orang kafir. Pasukan pemanah pada awalnya melakukan tugas mereka dengan sangat baik sekali sehingga memperoleh tiga kali kemenangan dari pasukan musuh. Musuh mulai lari kabur. Seperti disebutkan didalam Bukhari dan yang diriwayatkan oleh Bra bin Azib RA, bahkan para pemandu sorak mereka pun lari kocar kacir dan melepaskan alas kaki (sandal/sepatu) mereka supaya dapat kabur dengan cepat. Wahshi, budak Jubair bin Muttan bersembunyi sendirian di belakang sebuah batu karang dan dengan licik menyerang Hamzah RA sehingga Hamzah RA mati syahid. Meskipun Hamzah RA telah dengan jelas pada posisi yang menang. Pasukan pemanah diperintah oleh Nabi SAW untuk tidak meninggalkan posisi mereka dalam keadaan apapun juga.Kebanyakan para pemanah merasakan bahwa Allah SWT telah memberikan kemenangan kepada angkatan perang Muslim. Mereka tidak tahan untuk mengumpulkan barang rampasan musuh yang berharga tersebut. Abdullah bin Jubair RA, pemimpin pasukan pemanah mengingatkan mereka tentang instruksi dari Nabi SAW. Sangat disesalkan, Abdullah bin Jubair RA ditinggalkan di sana dengan hanya sembilan orang pemanah. Musuh mengambil kesempatan ini dan sekali lagi menyerang para pemanah ini. Kesembilan orang pemanah ini mati syahid. Pasukan berkuda musuh maju terus dan mengepung angkatan perang Muslim. Kaum Muslim menjadi panik dan kacau, dan beberapa orang terpaksa melarikan diri untuk menyelamatkan diri. Kemenangan dengan cepat berubah menjadi suatu keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Bahkan dalam situasi seperti ini banyak Sahabat yang bertempur dengan perkasa. Sebagai contoh, seperti disebutkan didalam Bukhari, Anas bin Nadar RA mati syahid dengan tujuh puluh tusukan/tikaman pada badannya. Saudarinya dapat mengenal badannya hanya dengan tanda di ujung jarinya. Nabi SAW ditinggalkan hanya dengan sembilan orang Sahabat di sekelilingnya. Suatu peperangan berdarah terjadi di sekitar Nabi SAW. Tujuh orang Sahabat mati syahid satu persatu selagi bertahan bersama Nabi SAW. Seperti disebutkan didalam Bukhari, hanya Talha bin Ubaidullah RA dan Saad bin Abi Waqas RA yang tinggal bertahan bersama Nabi SAW. Luka-Luka Nabi SAW Lemparan batu-batu musuh mengenai Nabi SAW. beliau jatuh, dan salah satu dari gigi bagian bawah patah dan bibir bawah juga terluka. Musuh lainnya melukai dahi Beliau. Musuh ketiga memukul Nabi SAW dengan sangat keras dengan pedangnya. Akibatnya dua cincin pengikat helm Nabi SAW menembus ke dalam pipi Beliau. Darah bercucuran dari atas wajah Beliau. Pertahanan Nabi SAW Saad bin Abi Waqas RA sedang melepaskan panah kepada musuh. Nabi SAW sangat senang dengan dia dan mengucapkan doa yang unik untuknya, “Semoga Ibu dan Bapakku berkorban untukmu.” Talha RA sedang bertempur dengan musuh dengan berani sampai tangannya terluka dan jarinya terpotong. Selagi bertempur dengan musuh, ia juga melindungi Nabi SAW dengan dadanya pada saat kritis tersebut. Seperti didituliskan didalam Tirmidzi, Nabi SAW berkata, “Jika seseorang ingin melihat Syuhada berjalan di bumi ini, lihatlah Talha bin Obaidullah.” Seperti disebutkan didalam Bukhari, Saad bin Abi Waqas RA berkata, “Pada hari peperangan Uhud aku melihat dua orang berpakaian putih disekitar Nabi SAW. Mereka sedang bertempur dengan dahsyat atas nama Nabi SAW. Aku tidak pernah melihat mereka sebelum dan setelah kesempatan tersebut.” Dalam riwayat yang lain, mereka adalah malaikat-malaikat Jibril AS dan Mikail AS. Sementara itu tiga puluh orang Sahabat mendatangi dengan cepat tempat tersebut. Masing-masing mereka menunjukkan kepahlawanan yang luar biasa seperti yang tertulis didalam buku sejarah. Musuh juga telah menggali beberapa parit sebagai perangkap. Sungguh sayang, Nabi SAW jatuh masuk ke salah satu dari parit tersebut. Lutut Nabi SAW terluka dengan sangat parah. Ali RA dan Talha bin Obaidullah RA menarik beliau keluar dari parit tersebut. Abu Obaida bin Jarrah RA mencoba mencabut cincin pengikat helm dari pipi Nabi SAW dengan giginya. Didalam usaha pertamanya Abu Obaida RA kehilangan gigi bawahnya. Dia kehilangan gigi bawah lainnya saat mencabut cincin pengikat helm kedua. Contoh Kepahlawanan (a) Musab bin Omair RA bertugas memegang bendera angkatan perang Muslim dan bertempur dengan sangat dahsyat. Selama bertempur tangan kanannya terpotong. Ia memegang bendera dengan tangan kirinya. Kemudian tangan kirinya juga dipotong oleh musuh. Ia berlutut dan menjepit bendera dengan dada dan dagunya. Ia syahid dalam kondisi seperti ini. Karena Musab RA sangat mirip dengan Nabi SAW, orang kafir mengumumkan bahwa Nabi SAW telah terbunuh. Ini melemahkan semangat orang-orang beriman. (b) Abu Dajana RA berdiri di depan Nabi SAW dengan punggungnya ke arah musuh untuk melindungi Nabi SAW. Banyak panah musuh menancap di punggungnya tetapi ia tidak bergerak satu inci pun. (c) Ummi Amara RA, suami dan dua orang putranya juga berkumpul disekeliling Nabi SAW ketika hanya ada beberapa orang Sahabat saja di sekeliling beliau. Ummi Amara dengan pedang terhunus bertahan bersama Nabi SAW dari semua arah. Keseluruhan keluarga mempertunjukkan keberanian luar biasa. Nabi SAW mengatakan, “Ya Allah, sayangilah keluarga ini.” Nabi SAW juga mengucapkan doa berikut untuk keluarga ini, “Ya Allah jadikanlah mereka sekeluarga Sahabatku di Surga.” Para Wanita Di Medan Perang Seperti disebutkan didalam Bukhari dan diriwayatkan oleh Anas RA, beberapa orang Muslimah datang ke medan perang diakhir peperangan. Mereka membawa kantong air untuk memberi minum kepada tentara yang terluka. Diantara mereka yaitu Aisyah RA, Ummi Saleem RA, Ummi Saleeth RA, dan Umm Aiman RA. Perusakan Mayat Syuhada Ketika Musab bin Omair RA terbunuh mati syahid, musuh mengumumkan bahwa Nabi SAW telah terbunuh karena ia sangat mirip dengan Nabi SAW. Orang kafir merasakan bahwa misi mereka telah terpenuhi. Karenanya orang kafir mulai merusak mayat para syuhada. Mereka memotong telinga, hidung, dan bagian-bagian pribadi mereka dan merangkainya sebagai bukti keberhasilan. Hindun binti Utba, isteri Abu Sufyan, membedah perut Hamzah RA dan mengeluarkan hatinya serta mengunyahnya untuk melepaskan kemarahannya. Para penyembah berhala memutuskan untuk kembali ke Makkah karena di dalam pandangan mereka, misi utama mereka telah tercapai. Status Para Sahabat Ada tiga faktor, yang menyebabkan berubahnya kemenangan menjadi kekalahan kaum Muslim seperti itu. (a) Pelanggaran terhadap perintah Nabi SAW oleh pasukan pemanah. (b) Berita kematian Nabi SAW. Ini melemahkan semangat banyak orang-orang beriman. (c) Perselisihan paham di medan perang tentang perintah Nabi SAW. Ini disebutkan didalam Ali Imran 152. Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah mema`afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman. Allah SWT berfirman bahwa penderitaan yang ekstrim ini telah menyortir orang munafik dari orang-orang yang beriman. Allah SWT menghibur orang-orang beriman dengan mengumumkan bahwa Allah SWT telah memaafkan mereka. Karenanya mereka tidak perlu untuk mempertanggungjawabkannya di Hari Pengadilan. Allah SWT Maha Pengasih kepada kaum Muslim. Terdapat keterangan yang rinci tentang situasi yang canggung ini didalam Ali Imran 153 – 155. (Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput daripada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi ma`af kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Disini ditunjukkan bahwa itu hanyalah untuk menguji orang-orang yang beriman. Sebagian dari orang-orang beriman dipengaruhi oleh Setan dalam kaitan dengan beberapa perbuatan mereka. Ada lagi keputusan Allah SWT yang sangat jelas didalam ayat terakhir yang menyatakan bahwa Allah SWT memaafkan para Sahabat karena Allah SWT adalah Maha Pengampun, Maha Sabar. Ini merupakan suatu aib meskipun ada dua keputusan Allah SWT di atas, beberapa orang berbicara tidak menyenangkan tentang para Sahabat. Seperti disebutkan ayat di atas, Allah SWT telah melimpahkan tambahan barakahNya kepada para Sahabat dengan membuat mereka tidur nyenyak di medan perang. Ini menyegarkan mereka kembali dan membuat mereka lebih siaga. Perlu dicatat bahwa tidur nyenyak didalam suatu medan perang adalah suatu barakah sementara mendirikan shalat saja sangatlah susah. Hal yang sama, barakah Allah SWT juga dilimpahan kepada kaum Muslim yang merasa cemas didalam peperangan Badar. Al Anfal 11. (Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya, Perhatikan kekeliruan lain yang dilakukan para Sahabat dan bagaimana Allah SWT menjawabnya. Ketika ketua orang munafik lari dari medan perang dengan tiga ratus para pengikutnya, ini mempengaruhi moril dari beberapa kabilah Muslim lainnya. Sesungguhnya, Bani Hartha dan Bani Salma menjadi hilang semangat. Mereka mau rasanya seperti orang munafik dan meninggalkan angkatan perang Muslim. Allah SWT, karena ke-Maha PenyayangNya pada para Sahabat, tidak membiarkan gagasan ini berkembang lebih lanjut di dalam hati mereka. Melainkan Allah SWT melindungi dan mendukung mereka dari kekeliruan ini. Ali Imran 122. ketika dua golongan daripadamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah karena Allah saja orang-orang mu’min bertawakkal. Kedua kabilah ini dengan bangga biasa mengatakan bahwa, “Allah SWT adalah pelindung dan penolong kami.” Catat bahwa Allah SWT sangat baik kepada para Sahabat bahkan ketika mereka melakukan beberapa kesalahan. Aku kagum betapa Allah SWT sangat senang kepada para Sahabat ketika mereka sibuk dengan amalan demi amalan. Tidak saja Allah SWT memaafkan para Sahabat tetapi juga memerintahkan Nabi SAW untuk ramah kepada mereka. Ali Imran 159. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Pikirkan dengan seksama keempat perintah kepada Nabi SAW berikut. 1. Maafkan para Sahabatmu dengan tuntas apapun kesalahan mereka. 2. Berdoa untuk mereka. 3. Mohon kepada Allah SWT untuk mengampunkan mereka. 4. Hormati mereka dan ajaklah mereka untuk bermusyawarah mengenai hal-hal penting. Tidak ada agama lain yang mempunyai etika dan kelapangan hati yang sangat tinggi seperti ini. Setelah menelaah kembali petunjuk Allah SWT ini, bagaimana mungkin seseorang berani menyalahkan para Sahabat Nabi Muhammad SAW. Hadiah Lain Dari Allah Swt Menuju akhir peperangan Uhud, para penyembah berhala tampil sebagai pemenang. Mereka bisa saja menyerang pemukiman Madinah untuk melakukan perusakan disana. Allah SWT menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka sehingga mereka memilih kembali ke Makkah daripada menyerang Madinah. Ali Imran 151. Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim. Aku berharap para pengunjung lokasi perang Uhud akan mendapat manfaat dari pelajaran yang diterangkan di dalam buku ini. Nabi SAW dan para Sahabatnya beristirahat sejenak di lokasi Masjid Al Mustrah dalam perjalanan kembali mereka ke Madinah. Masjid ini berada di jalan sekarang yang dikenal sebagai jalan Sayyid-Syuhada. Selama kunjungan ke Masjid ini kita harus berdoa untuk para pejuang Muslim dan bandingkan hidup kita yang nyaman dengan luka yang diderita Nabi SAW dan Sahabatnya. Semoga Allah menanamkan ketabahan dan ketekunan para Sahabat Nabi SAW kedalam diri kita.

Perang Badar

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Perang Badar
Sebahagian dari Perang Muslim-Quraisy
Muhammad at Badr.jpg
Adegan dari Siyer-i Nebi (Riwayat Nabi) menggambarkan Nabi Muhammad s.a.w. di Badar.
Tarikh 17 Mac, 624 M / 17 Ramadhan, 2 H
Tempat Badar, 80 batus (130 km) barat daya dari Madinah
Hasil Kemenangan muktamad Muslim
Pihak bersengketa
Muslim dari Madinah Quraisy dari Makkah
Komander
Nabi Muhammad s.a.w. Amr ibn Hishām (Abu Jahal)
Kekuatan
313 <900-1000
Korban dan kehilangan
14 terbunuh 70 terbunuh
43-70 ditawan
[sorok]
Kempen Nabi Muhammad s.a.w.
Badar – Banu Qaynuqa – Uhud – Banu Nadir – Ahzab – Banu Qurayza – Hudaibiyah – Khaibar – Mu'tah – Makkah – Hunain – Autas – Ta'if – Tabuk
Perang Badar (Arab: غزوة بدر‎), dijuang 17 Mac 624 M (17 Ramadhan 2 H dalam takwim Islam) di Hijaz dari barat Semenanjung Arab (Arab Saudi masa-kini), merupakan pertempuran penting dalam zaman awal Islam dan merupakan pemusingan dalam perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. dengan pihak lawannya di kalangan Quraisy[1] di Makkah.
Pertempuran ini telah diteruskan dalam Sejarah Islam sebagai kemenangan muktamad disebabkan campur tangan Ketuhanan atau kepintaran Nabi Muhammad s.a.w.
Walaupun ia salah satu dari sedikit pertempuran yang disebut khusus dalam kitab suci Islam, Al-Qur'an, hampir kesemua pengetahuan kontemporari dari perang di Badar berasal dari keterangan tradisional Islam, kedua-dua hadis dan biografi Nabi Muhammad s.a.w., ditulis berdekad selepas pertempuran tersebut.
Sebelum pertempuran tersebut, telah berlaku beberapa pertempuran kecil Muslim dan Makkah pada lewat 623 dan awal 624, laksana ghazawāt Muslim telah menjadi lebih kerap.
Badar, bagaimanapun merupakan penglibatan skala-besar pertama antara dua pihak. Bermara kepada posisi bertahan, sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang berdisiplin dengan baik berjaya memecahkan barisan puak Makkah, membunuh beberapa ketua Quraisy termasuklah antagonis utama Nabi Muhammad s.a.w., 'Amr ibn Hisham. Untuk Muslim awal, pertempuran ini amat penting kerana ia merupakan tanda pertama bahawa mereka mungkin akhirnya mengalahkan musuh mereka di Makkah. Makkah pada masa itu merupakan salah satu dari kota Jahiliyah yang paling kaya dan paling berkuasa di Semenanjung Arab, yang menghantar sepasukan tentera tiga kali lebih besar dari pihak Muslimin.
Kemenangan Muslim juga mengisyaratkan suku lain bahawa kuasa baru telah bangkit di Semenanjung Arab dan menguatkan kuasa Nabi Muhammad s.a.w. sebagai ketua dari yang kerapkali dengan komuniti mudah berpecah di Madinah. Suku Arab tempatan mula memeluk Islam dan berpakat diri mereka dengan Muslim dari Madinah; demikian, perkembangan Islam bermula.
Perang Badar ( bagian ke-1 )
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mendapat berita bahwa kafilah dagang dari kaum kafir Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan tidak lama lagi akan melintas dari perjalanan mereka pulang dari negeri Syam. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan kaum muslimin dan kemudian bersabda, “Aku telah mendapatkan berita bahwa kafilah Abu Sufyan tidak lama lagi akan melintas dari Syam.
Mereka pasti membawa harta yang cukup banyak. Apakah kalian setuju jika kita hadang mereka? Insya Allah, Allah akan memberikan kita kekuatan untuk mengambil harta rampasan dari mereka.” Para sahabat menja¬wab, “Ya, kami setuju wahai Rasulullah.”
Berangkatlah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersama sebagian kaum muslimin. Sengaja Rasulullah tidak mengajak seluruh kaum muslimin untuk pergi berperang. Beliau hanya mengajak orang-orang yang hadir di hadapan beliau waktu itu. Bahkan, beliau saat itu sempat tidak mengizinkan orang-orang dari dataran tinggi Madinah untuk datang ke perkumpulan itu. Maka dari itu, beliau pun juga tidak mencela siapa saja yang tidak hadir dan tidak mengikuti peperangan ini.”
Jumlah kekuatan kaum muslimin saat itu adalah 313 orang. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin 82 atau 86 orang, Bani Aus 61 orang, dan kalangan Khazraj 170 orang. Mereka berja¬lan dengan hanya membawa 2 kuda dan 70 unta. Maka, setiap dua orang atau tiga saling bergantian dalam mengendarai satu unta.
Ketika Abu Sufyan menyadari akan bahaya yang mengintai rombongannya, ia mengutus Dhamdham ibn Amru al-Ghaffari agar pulang ke Mekah untuk meminta bala bantuan dari bangsa Quraisy. Dhamdham pun segera pergi ke Mekah.
Sesampainya di Mekah, ia merobek pakaiannya dan kemudian berteriak, “Wahai orang-orang Quraisy! Celaka, celaka! Harta kalian yang ada di Abu Sufyan sedang diintai Muhammad dan para sahabatnya. Aku tidak yakin kalian akan mendapatkannya kembali, maka selamatkanlah, selamatkanlah mereka!”
Orang-orang Quraisy pun bergegas berangkat pergi untuk membantu kafilah mereka. Di samping itu, mereka juga ingin bertemu secara langsung dengan kaum muslimin dalam sebuah pertempuran. Mereka berharap, bahwa pertempuran kali itu akan menyudahi, kekuatan kaum muslimin yang selama ini selalu merintangi jalur perdagangan mereka. Tidak ada satu pun para pembesar bangsa Quraisy yang tidak ikut dalam penyerbuan kali itu selain Abu Lahab. Namun, ia telah mengutus Ash ibn Hisyam untuk menggantikan posisinya. Ash melakukan hal tersebut sebagai ganti dari hutang yang dimilikinya yang berjumlah sekitar 4.000 dirham. Selain Abu Lahab, tidak ada satu pun keturunan bangsa Quraisy yang tidak hadir dalam peperangan tersebut kecuali Bani Adi.
Jumlah mereka mencapai 1.300 orang. Mereka membawa 100 tentara berkuda, 600 tentara berbaju besi, dan sejumlah unta yang sangat banyak jumlahnya. Pasukan bangsa Quraisy ini dipimpin oleh Abu Jahal.
Ketika merasa khawatir dengan ancaman Bani Bakar yang akan melakukan tindakan makar karena permusuhan suku ini terhadap bangsa Quraisy selama ini, kaum Quraisy hampir saja kembali ke Mekah dan mengurungkan niat mereka. Akan tetapi, tiba-tiba Iblis muncul dengan menyamar sebagai Suraqah ibn Malik al-Madlaji, pemimpin Bani Kinanah. Ia berkata kepada orang-orang Quraisy, “Aku adalah pendukung kalian dari Bani Kinanah. Dan aku menjamin tidak akan ada serangan apapun terhadap kalian dari Bani Kinanah.” Lalu, Mereka pun dengan mantap meninggalkan kota Mekah sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung-kampung dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia, serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 47)
Alkisah, tiga hari sebelum kedatangan Dhamdham ibn Amru di Mekah untuk menyampaikan pesan Abu Sufyan, Atikah binti Abdul Muthalib telah memimpikan peristiwa tersebut. Ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki datang dengan menunggang untanya. Kemudian, ia berdiri di sebuah lembah yang sangat luas dan berkata, ‘Wahai ahli Badar, berangkatlah untuk berperang selama tiga hari.”
Lalu ia menceritakan mimpi itu sebagaimana berikut: Aku melihat orang itu mengambil sebongkah batu besar dan menjatuhkannya dari puncak gunung. Maka, batu itupun meluncur ke bawah hingga hancur berkeping-keping. Akibatnya, setiap rumah atau bangunan yang kemasukan oleh kepingannya pun hancur.
Abu Sufyan selalu teringat dengan berbagai bahaya yang berulang kali akan dilancarkan kaum muslimin terhadap dirinya. Karena itu, ketika kafilahnya sudah hampir mendekati Badar, ia menemui Majdi ibn Amru dan menanyakan keberadaan pasukan Rasulullah. Majdi mengatakan, bahwa dirinya baru saja melihat dua orang pengendara unta menderumkan kedua untanya di atas anak bukit. Lalu, keduanya menuangkan air ke tempat minum mereka dan kemudian pergi lagi.
Maka, Abu Sufyan bergegas mendatangi tempat menderumnya kedua unta mereka dan mengambil kotoran keduanya. Lalu, ia meremukkannya hingga mengetahui bahwa kedua unta itu berasal dari Madinah. Lantas, dengan cepat Abu Sufyan mengalihkan rombongannya dari jalan utama yang biasa mereka lalui dan terletak di sebelah kiri Badar.
Kemudian, ia membawa kafilahnya menyusuri jalan di tepi pantai yang berada di bagian Barat. Walhasil, akhirnya ia selamat dari bahaya yang mengancamnya. Setelah itu, ia mengirim surat susulan kepada pasukan bangsa Quraisy yang tengah berada di Juhfah. Di dalam surat itu, ia memberitahukan keselamatannya dan mempersilahkan mereka untuk kembali ke Mekah.
Pasukan kaum kafir Mekah pun bersiap-siap untuk kembali. Akan tetapi, Abu Jahal menolak langkah itu. “Demi tuhan! Kita tidak boleh pulang sebelum kita sampai di Badar dan menetap di sana selama tiga hari. Kita akan menyembelih kambing, makan, minum khamr, dan dihibur oleh para penyanyi wanita. Ini, kita lakukan agar orang¬-orang Arab (kaum muslimin) mengetahui keberadaan, arah perjalanan, dan tujuan kita, sehingga mereka tidak berani lagi mengusik kita selamanya. “
Seluruh pasukan Mekah mengikuti perintah Abu Jahal tersebut, kecuali Akhnas ibn Syariq. Ia bersama kaumnya dari Bani Zahrah kembali ke Mekah. Selain Akhnas, Ali ibn Abi Thalib juga ikut kembali ke Mekah. Lalu, bangsa Quraisy terus berjalan sampai mendekati wilayah Badar. Tepatnya, di balik bukit pasir pada bagian bibir lembah paling jauh, sampai ke bagian lembah Badar.
Ketika kedatangan pasukan Quraisy di Badar ini sampai ke telinga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau berunding dengan para sahabatnya tentang langkah apa yang harus mereka lakukan. Ternyata, salah satu kelompok dari pasukan kaum muslimin merasa khawatir bahwa mereka belum siap menghadapi perang sebesar itu. Karena, menurut mereka ini, kekuatan kaum muslimin belum memiliki kemampuan dan perbekalan yang cukup untuk menghadapi perang tersebut. Demikianlah, mereka terus mendebat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu dengan kebenaran sesudah nyata ( bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS. Al-Anfal: 5-6) untuk meyakinkan pandangan mereka terhadap beliau. Maka dari itu, Allah berfirman, Kemudian, para pemimpin pasukan Muhajirin angkat bicara. Mereka mendukung pendapat yang menyatakan mereka harus tetap berangkat bertempur menyerang kaum Quraisy. Pendapat ini terlontar dari Abu Bakar, Umar, dan Miqdad ibn Amr. Salah satu perkataan Miqdad adalah, “Rasulullah, laksanakan apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu, kami akan selalu menyertaimu. Demi Allah, kami tidak akan mengulangi perkataan Bani Israel kepada Musa, ‘Berpe¬ranglah kamu dan Tuhanmu, karena kami akan tetap diam di sini!’ Sungguh, kami hanya akan berkata, ‘Pergilah kamu dan Tuhanmu, dan sesungguhnya para pasukan perang telah bersiap menyertai kalian berdua! Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, seandainya kamu membawa kami ke sebuah tempat yang tertutup (telah dikepung musuh) pun, niscaya kami akan tetap berperang bersamamu tanpa memperdulikan mereka semua.”
Ucapan Miqdad tersebut membuat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahagia. Setelah mendengar pernyataan beberapa pemimpin pasukan kaum Muhajirin, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai orang-orang, siapa lagi yang akan melontarkan pendapatnya kepadaku?” Pertanyaan ini Rasulullah maksudkan untuk memancing pendapat dan pandangan dari para pemimpin pasukan Anshar. Sebab, mereka adalah bagian terbesar dari tentara Islam waktu itu.
Lantas, Sa’ad ibn Muadz-pembawa bendera Anshar-pun angkat suara. Ia memahami maksud perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Maka, ia pun segera bangkit dan berkata, “Demi Allah, benarkah yang engkau maksudkan adalah kami?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Benar.” Maka Sa’ad berkata, “Kami telah beriman kepadamu, sehingga kami akan selalu membenarkanmu. Dan kami bersaksi bahwa ajaran yang engkau bawa adalah benar.
Karena itu, kami berjanji untuk selalu mentaati dan mendengarkan perintahmu. Berangkatlah wahai Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam, jika itu yang engkau kehendaki. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan nilai-nilai kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu. Sungguh, tidak akan ada satu pun tentara kami yang akan tertinggal dan kami tidak takut sedikit pun kalau memang engkau memper¬temukan kami dengan musuh-musuh kami esok hari. Sesungguhnya, kami adalah orang-orang yang terbiasa hidup dalam peperangan dan melakukan pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu berbagai hal dari kami yang dapat memberikan kebahagiaan bagimu. Maka, marilah kita berjalan menuju berkah Allah.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam merasa bahagia dengan ucapan Sa’ad tersebut hingga beliau semakin bersemangat. Kemudian, beliau berkata, “Berjalanlah kalian menuju medan perang dan beritahukan berita gembira ini. Karena, Allah telah menjanjikan kepadaku akan memberi salah satu dari kedua belah pihak. Demi Allah, sekarang ini aku seperti melihat tempat kekalahan kaum Quraisy.” Lalu, mereka pun berangkat.
Oleh: Ust. H. Dave Ariant Yusuf
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mendapat berita bahwa kafilah dagang dari kaum kafir Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan tidak lama lagi akan melintas dari perjalanan mereka pulang dari negeri Syam. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan kaum muslimin dan kemudian bersabda, “Aku telah mendapatkan berita bahwa kafilah Abu Sufyan tidak lama lagi akan melintas dari Syam.
Mereka pasti membawa harta yang cukup banyak. Apakah kalian setuju jika kita hadang mereka? Insya Allah, Allah akan memberikan kita kekuatan untuk mengambil harta rampasan dari mereka.” Para sahabat menja¬wab, “Ya, kami setuju wahai Rasulullah.”
Berangkatlah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersama sebagian kaum muslimin. Sengaja Rasulullah tidak mengajak seluruh kaum muslimin untuk pergi berperang. Beliau hanya mengajak orang-orang yang hadir di hadapan beliau waktu itu. Bahkan, beliau saat itu sempat tidak mengizinkan orang-orang dari dataran tinggi Madinah untuk datang ke perkumpulan itu. Maka dari itu, beliau pun juga tidak mencela siapa saja yang tidak hadir dan tidak mengikuti peperangan ini.”
Jumlah kekuatan kaum muslimin saat itu adalah 313 orang. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin 82 atau 86 orang, Bani Aus 61 orang, dan kalangan Khazraj 170 orang. Mereka berja¬lan dengan hanya membawa 2 kuda dan 70 unta. Maka, setiap dua orang atau tiga saling bergantian dalam mengendarai satu unta.
Ketika Abu Sufyan menyadari akan bahaya yang mengintai rombongannya, ia mengutus Dhamdham ibn Amru al-Ghaffari agar pulang ke Mekah untuk meminta bala bantuan dari bangsa Quraisy. Dhamdham pun segera pergi ke Mekah.
Sesampainya di Mekah, ia merobek pakaiannya dan kemudian berteriak, “Wahai orang-orang Quraisy! Celaka, celaka! Harta kalian yang ada di Abu Sufyan sedang diintai Muhammad dan para sahabatnya. Aku tidak yakin kalian akan mendapatkannya kembali, maka selamatkanlah, selamatkanlah mereka!”
Orang-orang Quraisy pun bergegas berangkat pergi untuk membantu kafilah mereka. Di samping itu, mereka juga ingin bertemu secara langsung dengan kaum muslimin dalam sebuah pertempuran. Mereka berharap, bahwa pertempuran kali itu akan menyudahi, kekuatan kaum muslimin yang selama ini selalu merintangi jalur perdagangan mereka. Tidak ada satu pun para pembesar bangsa Quraisy yang tidak ikut dalam penyerbuan kali itu selain Abu Lahab. Namun, ia telah mengutus Ash ibn Hisyam untuk menggantikan posisinya. Ash melakukan hal tersebut sebagai ganti dari hutang yang dimilikinya yang berjumlah sekitar 4.000 dirham. Selain Abu Lahab, tidak ada satu pun keturunan bangsa Quraisy yang tidak hadir dalam peperangan tersebut kecuali Bani Adi.
Jumlah mereka mencapai 1.300 orang. Mereka membawa 100 tentara berkuda, 600 tentara berbaju besi, dan sejumlah unta yang sangat banyak jumlahnya. Pasukan bangsa Quraisy ini dipimpin oleh Abu Jahal.
Ketika merasa khawatir dengan ancaman Bani Bakar yang akan melakukan tindakan makar karena permusuhan suku ini terhadap bangsa Quraisy selama ini, kaum Quraisy hampir saja kembali ke Mekah dan mengurungkan niat mereka. Akan tetapi, tiba-tiba Iblis muncul dengan menyamar sebagai Suraqah ibn Malik al-Madlaji, pemimpin Bani Kinanah. Ia berkata kepada orang-orang Quraisy, “Aku adalah pendukung kalian dari Bani Kinanah. Dan aku menjamin tidak akan ada serangan apapun terhadap kalian dari Bani Kinanah.” Lalu, Mereka pun dengan mantap meninggalkan kota Mekah sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung-kampung dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia, serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 47)
Alkisah, tiga hari sebelum kedatangan Dhamdham ibn Amru di Mekah untuk menyampaikan pesan Abu Sufyan, Atikah binti Abdul Muthalib telah memimpikan peristiwa tersebut. Ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki datang dengan menunggang untanya. Kemudian, ia berdiri di sebuah lembah yang sangat luas dan berkata, ‘Wahai ahli Badar, berangkatlah untuk berperang selama tiga hari.”
Lalu ia menceritakan mimpi itu sebagaimana berikut: Aku melihat orang itu mengambil sebongkah batu besar dan menjatuhkannya dari puncak gunung. Maka, batu itupun meluncur ke bawah hingga hancur berkeping-keping. Akibatnya, setiap rumah atau bangunan yang kemasukan oleh kepingannya pun hancur.
Abu Sufyan selalu teringat dengan berbagai bahaya yang berulang kali akan dilancarkan kaum muslimin terhadap dirinya. Karena itu, ketika kafilahnya sudah hampir mendekati Badar, ia menemui Majdi ibn Amru dan menanyakan keberadaan pasukan Rasulullah. Majdi mengatakan, bahwa dirinya baru saja melihat dua orang pengendara unta menderumkan kedua untanya di atas anak bukit. Lalu, keduanya menuangkan air ke tempat minum mereka dan kemudian pergi lagi.
Maka, Abu Sufyan bergegas mendatangi tempat menderumnya kedua unta mereka dan mengambil kotoran keduanya. Lalu, ia meremukkannya hingga mengetahui bahwa kedua unta itu berasal dari Madinah. Lantas, dengan cepat Abu Sufyan mengalihkan rombongannya dari jalan utama yang biasa mereka lalui dan terletak di sebelah kiri Badar. Kemudian, ia membawa kafilahnya menyusuri jalan di tepi pantai yang berada di bagian Barat. Walhasil, akhirnya ia selamat dari bahaya yang mengancamnya. Setelah itu, ia mengirim surat susulan kepada pasukan bangsa Quraisy yang tengah berada di Juhfah. Di dalam surat itu, ia memberitahukan keselamatannya dan mempersilahkan mereka untuk kembali ke Mekah.
Pasukan kaum kafir Mekah pun bersiap-siap untuk kembali. Akan tetapi, Abu Jahal menolak langkah itu. “Demi tuhan! Kita tidak boleh pulang sebelum kita sampai di Badar dan menetap di sana selama tiga hari. Kita akan menyembelih kambing, makan, minum khamr, dan dihibur oleh para penyanyi wanita. Ini, kita lakukan agar orang¬-orang Arab (kaum muslimin) mengetahui keberadaan, arah perjalanan, dan tujuan kita, sehingga mereka tidak berani lagi mengusik kita selamanya. “
Seluruh pasukan Mekah mengikuti perintah Abu Jahal tersebut, kecuali Akhnas ibn Syariq. Ia bersama kaumnya dari Bani Zahrah kembali ke Mekah. Selain Akhnas, Ali ibn Abi Thalib juga ikut kembali ke Mekah. Lalu, bangsa Quraisy terus berjalan sampai mendekati wilayah Badar. Tepatnya, di balik bukit pasir pada bagian bibir lembah paling jauh, sampai ke bagian lembah Badar.
Ketika kedatangan pasukan Quraisy di Badar ini sampai ke telinga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau berunding dengan para sahabatnya tentang langkah apa yang harus mereka lakukan. Ternyata, salah satu kelompok dari pasukan kaum muslimin merasa khawatir bahwa mereka belum siap menghadapi perang sebesar itu. Karena, menurut mereka ini, kekuatan kaum muslimin belum memiliki kemampuan dan perbekalan yang cukup untuk menghadapi perang tersebut. Demikianlah, mereka terus mendebat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu dengan kebenaran sesudah nyata ( bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS. Al-Anfal: 5-6) untuk meyakinkan pandangan mereka terhadap beliau. Maka dari itu, Allah berfirman, Kemudian, para pemimpin pasukan Muhajirin angkat bicara. Mereka mendukung pendapat yang menyatakan mereka harus tetap berangkat bertempur menyerang kaum Quraisy. Pendapat ini terlontar dari Abu Bakar, Umar, dan Miqdad ibn Amr. Salah satu perkataan Miqdad adalah, “Rasulullah, laksanakan apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu, kami akan selalu menyertaimu. Demi Allah, kami tidak akan mengulangi perkataan Bani Israel kepada Musa, ‘Berpe¬ranglah kamu dan Tuhanmu, karena kami akan tetap diam di sini!’ Sungguh, kami hanya akan berkata, ‘Pergilah kamu dan Tuhanmu, dan sesungguhnya para pasukan perang telah bersiap menyertai kalian berdua! Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, seandainya kamu membawa kami ke sebuah tempat yang tertutup (telah dikepung musuh) pun, niscaya kami akan tetap berperang bersamamu tanpa memperdulikan mereka semua.”
Ucapan Miqdad tersebut membuat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahagia. Setelah mendengar pernyataan beberapa pemimpin pasukan kaum Muhajirin, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai orang-orang, siapa lagi yang akan melontarkan pendapatnya kepadaku?” Pertanyaan ini Rasulullah maksudkan untuk memancing pendapat dan pandangan dari para pemimpin pasukan Anshar. Sebab, mereka adalah bagian terbesar dari tentara Islam waktu itu.
Lantas, Sa’ad ibn Muadz-pembawa bendera Anshar-pun angkat suara. Ia memahami maksud perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Maka, ia pun segera bangkit dan berkata, “Demi Allah, benarkah yang engkau maksudkan adalah kami?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Benar.” Maka Sa’ad berkata, “Kami telah beriman kepadamu, sehingga kami akan selalu membenarkanmu. Dan kami bersaksi bahwa ajaran yang engkau bawa adalah benar.
Karena itu, kami berjanji untuk selalu mentaati dan mendengarkan perintahmu. Berangkatlah wahai Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam, jika itu yang engkau kehendaki. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan nilai-nilai kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu. Sungguh, tidak akan ada satu pun tentara kami yang akan tertinggal dan kami tidak takut sedikit pun kalau memang engkau memper¬temukan kami dengan musuh-musuh kami esok hari. Sesungguhnya, kami adalah orang-orang yang terbiasa hidup dalam peperangan dan melakukan pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu berbagai hal dari kami yang dapat memberikan kebahagiaan bagimu. Maka, marilah kita berjalan menuju berkah Allah.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam merasa bahagia dengan ucapan Sa’ad tersebut hingga beliau semakin bersemangat. Kemudian, beliau berkata, “Berjalanlah kalian menuju medan perang dan beritahukan berita gembira ini. Karena, Allah telah menjanjikan kepadaku akan memberi salah satu dari kedua belah pihak. Demi Allah, sekarang ini aku seperti melihat tempat kekalahan kaum Quraisy.” Lalu, mereka pun berangkat.
Perang Badar ( bagian ke-3 )
Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy juga ikut serta dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari kalangan intelektual Quraisy merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu yang akan terbunuh, sehingga Mekkah sendiri nanti akan kehilangan arti. Kendatipun demikian mereka masih takut kepada Abu Jahal yang begitu keras, juga mereka takut dituduh pengecut dan penakut. Tiba-tiba tampil ‘Utba bin Rabi’a ke hadapan mereka sambil berkata, “Saudara-saudara kaum Quraisy, apa yang tuan-tuan lakukan hendak memerangi Muhammad dan kawan-kawannya itu, sebenarnya tak ada gunanya. Kalau dia sampai binasa karena tuan-tuan, masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan sendiri yang akan melihat, bahwa yang terbunuh itu adalah saudara sepupunya, dari pihak bapak atau pihak ibu, atau siapa saja dari keluarganya. Kembali sajalah dan biarkan Muhammad dengan teman-temannya itu. Kalau dia binasa karena pihak lain, mungkin itulah yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi kalau bukan itu yang terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak kita inginkan.” Mendengar kata-kata ‘Utba, Abu Jahal naik darah. Ia segera memanggil ‘Amir bin’l-Hadzrami dengan mengatakan, “Temanmu ini ingin supaya orang pulang. Kamu sudah melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang harus dituntut balas. Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap saudaramu Amr bin’l-Hadzrami yang tewas ditangan Abdullah bin Jahsy!” Amir segera bangkit dan berteriak, “Wahai saudaraku! Tak ada jalan lain, mesti perang!” Dengan dipercepatnya pertempuran itu Aswad bin ‘Abd’l-Asad keluar dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke tengah-tengah barisan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat. Tetapi ketika itu juga Hamzah bin Abd’l-Mutthalib segera menyambutnya dengan satu pukulan yang mengenai kakinya, sehingga ia tersungkur dengan kaki berlumuran darah. Sekali lagi Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata pedang memang tak ada yang tampak lebih tajam daripada darah. Juga tak ada sesuatu yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa manusia daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang teman-temannya berdiri menyaksikan. Begitu melihat Aswad jatuh, maka tampillah ‘Utba bin Rabi’a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan Walid bin ‘Utba anaknya, sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu disambut oleh pemuda-pemuda dari Madinah. Tetapi setelah melihat pemuda-pemuda Madinah ini, ia berkata, “Kami tidak memerlukan kalian! Yang kami inginkan ialah orang-orang Quraisy yang telah menjadi pengikut Muhammad!” Lalu dari mereka memanggil-manggil, “Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari golongan Quraisy itu tampil!” Ketika itu juga yang tampil menghadapi mereka adalah Hamzah bin Abd’l-Mutthalib, Ali bin Abi Thalib dan ‘Ubaida bin’l-Harith. Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba, juga Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid, keduanya langsung menebas leher musuh mereka itu hingga tewas. Lalu keduanya segera membantu ‘Ubaida yang kini sedang diterkam oleh ‘Utba. Setelah Quraisy melihat kenyataan ini mereka semua maju menyerbu. Pada pagi Jum’at 17 Ramadhan itulah kedua pasukan itu berhadap-hadapan muka. Sekarang Rasulullah sendiri yang tampil memimpin kaum Muslimin, mengatur barisan. Tetapi ketika beliau melihat pasukan Quraisy begitu besar, sedang pasukan Muslimin sedikit sekali, selain itu perlengkapan yang sangat minim dibanding dengan perlengkapan Quraisy, beliau ia kembali ke kemah ditemani oleh Abu Bakar. Sungguh Rasulullah cemas pada peristiwa yang akan terjadi hari itu, sungguh pilu hati beliau melihat nasib yang akan menimpa Islam sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat kemenangan. Rasulullah kini menghadapkan diri kepada Allah dengan segenap jiwanya, beliau membisikkan kegelisahannya kepada Allah dan menagih apa yang telah Allah janjikan kepadanya Rasul-Nya berupa pertolongan dan kemenangan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa, dalam permohonan, sambil berkata: “Ya Allah. Sekarang kaum Quraisy telah datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, kami memohon pertolongan-Mu juga yang telah Kau-janjikan kepadaku. Ya Allah, jika sekarang ini pasukan Muslimin binasa, tidak ada lagi orang yang menyembah-Mu”. Sementara Rasulullah masih hanyut dalam doa kepada Allah, mantelnya terjatuh. Ketika itu Abu Bakar lalu meletakkan mantel itu kembali ke bahunya, sambil ia berkata, “Wahai Rasulullah, dengan doamu itu Allah akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.” Tetapi Rasulullah makin terbawa dalam tawajjuh kepada Allah. Dengan penuh khusyu’ dan kesungguhan hati beliau terus memanjatkan doa, memohonkan isyarat dan pertolongan Allah dalam menghadapi peristiwa yang oleh kaum Muslimin sama sekali tidak diharapkan, untuk itu tidak pula mereka punya persiapan. Hingga Rasulullah pun terangguk dalam keadaan mengantuk. Dalam pada itu tampak oleh beliau pertolongan Allah itu benar adanya. Ia sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira. Sekarang Rasulullah keluar menemui para sahabat, lalu beliau bersabda, “Demi Allah. Setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.” Jiwa Rasulullah yang telah diberikan oleh Allah begitu kuat melampaui segala kekuatan, telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Kekuatan orang-orang yang beriman itu sudah melampaui semangat mereka sendiri, sehingga setiap orang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama dengan sepuluh orang. Allah pun menurunkan firman-Nya, “Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang iman itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang tabah diantara kalian, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang tabah diantara kalian, mereka dapat mengalahkan seribu orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepada kalian dan telah mengetahui bahwa ada kelemahan pada kalian. Maka jika ada diantara kalian seratus orang yang tabah, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika diantara kalian ada seribu orang yang tabah, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seijin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. Q:S 8:65-66 Keadaan Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Rasulullah membangkitkan semangat mereka, turut hadir di tengah-tengah mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap musuh. Rasulullah menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang telah teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Dalam hal ini kaum Muslimin mengarahkan perhatiannya pada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Mereka hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala mereka disiksa di Mekkah dulu, dirintangi memasuki Masjid Suci dan berjuang untuk Allah. Bilal melihat Umayya bin Khalaf dan anaknya, begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang dikenalnya di Mekkah dulu. Umayya ini adalah orang yang pernah menyiksa Bilal dulu, ketika ia dibawanya ketengah-tengah padang pasir yang paling panas di Mekkah. Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu ditindihkannya batu besar di dadanya, dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya berkata, “ Ahad, Ahad. Yang Satu, Yang Satu.” Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata, “Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!” Beberapa orang dari kalangan Muslimin mengelilingi Umayya dengan tujuan jangan sampai ia terbunuh dan akan dibawanya sebagai tawanan. Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu berteriak sekeras-kerasnya, “Demi Allah! Wahai Umayya bin Khalaf kepala kafir. Aku takkan selamat jika kau lolos!”. Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilal tak dapat diredakan lagi, dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu’adh bin ‘Amr bin Jamuh juga dapat menewaskan Abu Jahal bin Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan pejuang-pejuang Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah pertempuran sengit itu. Mereka sudah lupa akan dirinya masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya yang hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar. Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi udara. Kepala-kepala ketika itu sudah lepas berjatuhan dari tubuh Quraisy. Berkat iman yang teguh keadaan Muslimin bertambah kuat juga. Dengan gembira mereka berseru, “Ahad! Ahad!”. Di hadapan mereka kini terbuka tabir ruang dan waktu, sebagai bantuan Allah kepada mereka dengan para malaikat yang memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh, sehingga bila salah seorang dari mereka mengangkat pedang dan mengayunkannya ke leher musuh, seolah-olah tangan mereka digerakkan dengan kekuatan Allah. Di tengah-tengah medan pertempuran yang sedang sibuk dikunjungi malaikat maut memunguti leher orang-orang kafir itu, Rasulullah berdiri, diambilnya segenggam pasir, lalu dihadapkannya kepada pasukan Quraisy. “Celakalah wajah-wajah mereka itu!” kata Rasulullah sambil menaburkan pasir itu kearah mereka. Para sahabat lalu diberi komando, “Serbu!” (bersambung)
Serentak pihak Muslimin menyerbu ke depan, masih dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah kafir Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Allah SWT. Sudah bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan tawanan perang. Hanya karena adanya semangat dari Allah yang tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan moril mereka bertambah. Dalam hal ini firman Allah turun: “(Ingatlah), ketika Tuhan kalian mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Akan kutanamkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (QS. 8: 12) “Maka (yang sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka, melainkan Allahlah yang telah membunuh mereka, dan bukan kalian yang melempar ketika kalian melempar, tetapi Allahlah yang melempar..” (QS. 8: 17) Tatkala Rasulullah melihat bahwa Allah telah melaksanakan janjiNya dan setelah kemenangan berada di pihak Muslimin, beliau kembali ke pondoknya. Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan. Dengan perasaan dongkol kafir Quraisy lari tunggang langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri, karena rasa malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang telah menimpa mereka semua. Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badar. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan sebuah lubang besar, mereka semua dikuburkan. Malam harinya Rasulullah dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang tawanan. Tatkala malam sudah gelap Rasulullah mulai merenungkan pertolongan yang diberikan Allah kepada Muslimin yang dengan jumlah begitu kecil telah dapat menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja. Pada waktu itu para sahabat mendengar Rasulullah berkata, “Wahai ‘Utba bin Rabi’a! Syaiba bin Rabi’a! Umayya bin Khalaf! Wahai Abu Jahal bin Hisyam! ” – Seterusnya Rasulullah menyebutkan nama orang-orang yang dikubur di dalam lubang besar itu satu per satu - “Wahai mayat-mayat kafir! Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku.” “Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah mati?” tanya kaum Muslimim. “Mereka lebih mendengar apa yang aku katakan daripada kalian” jawab Rasul. “Tetapi mereka tidak dapat menjawab.” Ketika itu Rasulullah memandang wajah Abu Hudhaifa ibn ‘Utba. Ia tampak sedih dan murung. ”Barangkali ada sesuatu yang kau pikirkan mengenai ayahmu, wahai Abu Hudhaifa”? tanya Rasulullah. “Tidak, wahai Rasulullah,” jawab Abu Hudhaifa. “Tentang ayah, aku tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya. Hanya saja menurutku ayahku adalah orang yang pikirannya baik, bijaksana dan berjasa. Jadi aku sangat berharap ia akan mendapat petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi setelah aku lihat apa yang terjadi, dan teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran, maka makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya sedih.” Keesokan harinya, ketika Muslimin sudah siap-siap akan berangkat pulang ke Madinah, mulailah timbul pertanyaan sekitar masalah harta rampasan, untuk siapa seharusnya diberikan. Menurut pendapat Muslimin yang terjun langsung bertempur melawan kafir Quraisy, “Kami yang mengumpulkannya, jadi harta rampasan itu adalah hak kami”. Sedangkan menurut Muslimin yang bertempur di garis depan dan mengejar musuh hingga merampas langsung harta mereka, “Kalau tidak karena kami, kalian tidak akan mendapatkannya, jadi kamilah yang lebih berhak atas harta rampasan itu”. Sementara Muslimin yang selalu mengawal dan melindungi Rasulullah karena dikuatirkan adanya serangan musuh dari belakang berpendapat, “Kalian semua tidak ada yang lebih berhak atas harta rampasan itu daripada kami, karena sebenarnya kami pun bisa langsung terjun memerangi musuh dan merampas harta mereka, tetapi kami kuatir adanya serangan musuh kepada Rasulullah, oleh karena itu kami lalu bertugas menjaga Rasulullah. Ditengah perbedaan pendapat itu kemudian Rasulullah menyuruh mengembalikan semua harta rampasan yang ada ditangan mereka dan dikumpulkan hingga beliau yang akan memutuskan siapa yang berhak atas harta itu atau sampai ada petunjuk dari Allah SWT. Rasulullah mengutus Abdullah bin Rawaha dan Zaid bin Haritsa berangkat terlebih dahulu ke Madinah untuk menyampaikan berita gembira tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedangkan Rasulullah bersama para sahabat menyusul berangkat ke Madinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang telah diperolehnya dari kafir Quraisy. Mereka pun berangkat. Setelah sampai di kawasan Shafra’, diatas sebuah bukit pasir Rasulullah berhenti. Di tempat inilah Rasulullah mendapat petunjuk dari Allah mengenai rampasan perang. Allah berfirman, “ “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam perjalanan, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari yang menentukan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. 8: 41) Setelah rampasan perang itu diambil seperlima untuk sabilillah, sisa yang empat perlimanya dibagi secara merata di kalangan Muslimin yang ikut berperang, bagian mereka yang gugur di Badar diberikan kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Madinah dan tidak ikut ke Badar karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan berangkat ke Badar tapi tertinggal di belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan perang itu dibagi secara adil. Muslimin yang mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan siapa saja yang ikut bekerja kearah itu, baik yang di garis depan atau yang jauh dari sana. Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke Madinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr bin’l-Harits dan yang seorang lagi bernama ‘Uqba bin Abi Mu’ait. Sampai saat itu baik Rasulullah maupun para sahabat belum membuat suatu peraturan tertentu tentang para tawanan itu, apakah akan dibunuh, di minta tebusan pada orang-orang Quraisy atau dijadikan budak. Sementara Nadzr dan ‘Uqba ini keduanya merupakan bahaya yang selalu mengancam Muslimin selama di Mekkah dulu. Setiap ada kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu kaum Muslimin. Terbunuhnya Nadzr ini ialah ketika sampai di wilayah Uthail para tawanan itu diperlihatkan kepada Rasulullah. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang sedemikian rupa, hingga tawanan ini gemetar seraya berkata kepada seseorang yang berada di sampingnya, “Muhammad pasti akan membunuhku,” katanya. “Ia menatapku dengan pandangan mata yang mengandung maut.” “Itu hanya karena kau merasa takut saja,” jawab orang yang di sebelahnya. Nadzr pun berkata kepada Mush’ab bin ‘Umair, Muslimin yang ia anggap paling banyak punya rasa belas-kasihan, “Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan membunuhku.” “Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang Kitabullah dan tentang diri Rasulullah,” kata Mush’ab, “Dulu kau menyiksa para sahabat Rasul.” “Wahai Mushab, andaikan kau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan dibunuh selama aku masih hidup,” kata Nadzr lagi merayu. “Kau tak bisa dipercaya,” kata Mush’ab. “Dan lagi aku tidak sepertimu. Janji Islam denganmu sudah terputus.” Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini Miqdad ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dari keluarganya. Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya Nadzr, Miqdad segera berteriak, “Nadzr tawananku..!,”. “Penggal lehernya,” kata Rasulullah, “Ya Allah..Semoga Miqdad mendapat karuniaMu.” Ali bin Abi Thalib pun mengayunkan pedangnya, maka tewaslah Nadzr bin-l Harits. Ketika mereka telah sampai di ‘Irq’z-Zubya Rasulullah memerintahkan agar ‘Uqba bin Abi Mu’ait juga dibunuh. Sehari sebelum Rasulullah dan Muslimin sampai di Madinah kedua utusan beliau Zaid bin Haritsa dan Abdullah bin Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berbeda. Dari atas unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada kaum Anshar penduduk Madinah tentang kemenangan Rasulullah dan para sahabat, sambil menyebutkan siapa-siapa dari pihak kafir Quraisy yang terbunuh. Begitu juga Zaid bin Haritsa melakukan hal yang sama sambil menunggang Al-Qashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, sedangkan mereka yang masih berada di dalam rumah pun berhamburan keluar menyambut berita kemenangan besar ini.
TAMAT
Oleh: Ust.H.Dave Ariant Yusuf