Rabu, 04 Mei 2011

Restorasi Kasultanan Surosowan Banten Darussalam.

Sejak di hancurkan oleh penjajah kolonial Hindia Belanda era Gubernur Jenderal Daendels, kini komplek Banten lama tinggal kenangan puing-puing di sekitar istana Surosowan. 

Walau demikian, perlawanan terhadap kolonial Belanda terus berlanjut dari wilayah Banten. Sejak sebelum abad 18 masehi, ibukota Banten telah berpindah beberapa kali, di kota Banten, Serang, hingga di Rangkasbitung. Sejak itu pula saidin Surosowan berpindah dan menyebar ke sekitar Jawa Barat, Jakarta, bahkan hingga ke Padang. 

Di tahun 1947, Presiden Soekarno mendatangi residen Tubagus Banten, untuk meminta ijin agar Jakarta di jadikan ibukota negara Republik Indonesia.

Di antara cetakan uang lama RI, ORI ( Oeang Republik Indonesia ), terdapat menggunakan gambar tiamah kasultanan Surosowan Banten.

Di jaman orde baru, salah satu keluarga Surosowan di Jakarta, dari garis keluarga Tubagus Mohammad Damien, mendapatkan undangan dari Gubernur DKI Jakarta, Purn. Jenderal R. Wiyogoatmodarminto untuk berziarah ke makam Sultan-sultan Surosowan Banten di komplek Banten lama.

Di samping undangan, Gubernur R. Wiyogoatmodarminto juga memberikan kiriman surat silsisah asli bahwa keluarga Tubagus Mohammad Damien termasuk dalam keturunan saidin kasultanan Surosowan Banten Darussalam.

Ketika itu, penulis baru berusia masa sebagai siswa SMPN 13, di jalan Tirtayasa, Jakarta Selatan. Oleh Ibu, bersama sekeluarga almarhum bapak dan nenek (saidah) Neneng Murdinah, ikut pergi ke Banten. Dengan rute dari Jakarta, ke Bogor, kemudian singgah dulu di Rangkasbitung, di rumah bibi di Banten.

 Tadinya bibi dan sekeluarga di Rangkasbitung ikut di ajak turut serta, tapi sedang tidak bisa, karena terlalu mendadak di ajaknya. Kemudian sekeluarga Tubagus Arief Zulfianto (penulis) meneruskan perjalanan ke Banten lama.

Sesampai di Banten lama, Tubagus Arief Zulfianto dan sekeluarga ketika turun dari mobil, melihat pemandangan anak-anak, pemuda sedang berkumpul sambil berlatih silat Banten di lapangan komplek Banten lama di bimbing guru-guru pencak silatnya. Pohon-pohon kelapa bergoyang melambai-lambai di terpa angin di Banten lama, seolah ikut memberikan salam pada keluarga yang telah jauh berpindah rumah dari rumah istananya dulu.
 Orang-orang di sekitar juga ikut memandang, seolah tahu dan ikut menghormati kunjungan keluarga saidinnya di Banten.  Tapi Tubagus Arief Z hanya masih kanak remaja di masa itu yang sekedar datang bersama sekeluarga karena rasa ingin tahu...

Kemudian Tubagus Arief Z, yang masih kanak remaja tertarik melihat tiamah Masjid Banten, dan masuk ke dalamnya untuk melihat-lihat bersama bapak dan keluarganya. Hanya Nenek, karena sudah berusia tua ditemani ibu tidak masuk ke dalam tiamah.

Tubagus Arief Z pun menaiki tangga-tangga di dalam tiamah, dan memandang keluar melalui jendela, sekali lagi terlihat nyiur kelapa melambai-lambai dan kumpulan anak, pemuda dan orang-orang meneruskan berlatih silat Banten. Melihat pemandangan itu, Tubagus Arief Z, jadi teringat saat menonton film Jaka Sembung, pendekar yang memimpin kumpulan pendekar silat. Atau film-film kungfu Cina, ketika keluarga Kaisar Cina di sambut oleh para pendekar bela diri panji kekaisaran Cina. Tapi yang ini para pendekar panjinya saidin Surosowan Banten.

Selesai melihat tiamah, Tubagus Arief Z di ajak keluarga yang menunggu untuk meneruskan memasuki masjid Agung Banten. Nenek dan Ibu ikut sholat di dalam masjid Banten, sementara Tubagus Arief Z, terus melihat-lihat ruangan di sekitar Masjid, dan menemukan sebuah situs ruangan khusus yang di beri tanda spanduk, ruangannya Syekh Maulana Malik Ibrohim, yang pernah menjadi Wali di Banten, setelah dari Sumatera tiba pertama kalinya di Jawa. Hingga dari Banten meneruskan perjalanannya ke Gresik. Tadinya Tubagus Arief Z yang kanak remaja tidak tahu siapa itu Syekh Maulana Malik Ibrohim menanyakan ke ibu, tapi ibu juga menjawab tidak tahu. Baru setelah dewasa, Tubagus Arief Z baru dapat informasi tentang Syekh Maulana Malik Ibrohim, yang termasuk wali senior di jajaran Wali Songo.

Dari Masjid Banten, sekeluarga mengajak masuk ke komplek pemakaman Sultan-sultan Banten, karena itulah tujuan utamanya pergi ke komplek Banten lama. Di pemakaman, Nenek dan ibu berdhoa dan membaca surat Yasin yang di hafalnya di luar kepala.

Setelah dari makam Sultan-sultan Surosowan Banten, sekeluarga pun pindah memasuki keraton istana Surosowan. Tubagus Arief Z sempat ketinggalan, akibat penasarannya melihat ruangan khususnya Syekh Maulana Malik Ibrohim.

Tapi ketika Tubagus Arief Z menuju ke istana, terlihat Bapaknya ternyata menungguinya di depan pintu istana. Dari melihat pintu pagar istana saja Tubagus Arief Z, jadi teringat rumah kakeknya dari Bapaknya di Petanahan, Kebumen, yang nyaris sama kondisinya,... tinggal peninggalan puing-puing. Dan yang sama-sama puing-puing akibat di hancurkan oleh penjajah kolonial Belanda.

Itulah kenangan tanda ketidakadilan dan kesemenaan penjajah kolonial Belanda pada keluarga Tubagus Arief Zulfianto yang belum terbayarkan hutangnya hingga kini pada hak keluarganya selayaknya...

Penulis
Tubagus Arief Zulfianto,
Pelukis,Sarjana Seni FSRD IKJ, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar