Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Perang Badar
Sebahagian dari Perang Muslim-Quraisy
Muhammad at Badr.jpg
Adegan dari Siyer-i Nebi (Riwayat Nabi) menggambarkan Nabi Muhammad s.a.w. di Badar.
Tarikh 17 Mac, 624 M / 17 Ramadhan, 2 H
Tempat Badar, 80 batus (130 km) barat daya dari Madinah
Hasil Kemenangan muktamad Muslim
Pihak bersengketa
Muslim dari Madinah Quraisy dari Makkah
Komander
Nabi Muhammad s.a.w. Amr ibn Hishām (Abu Jahal)
Kekuatan
313 <900-1000
Korban dan kehilangan
14 terbunuh 70 terbunuh
43-70 ditawan
[sorok]
Kempen Nabi Muhammad s.a.w.
Badar – Banu Qaynuqa – Uhud – Banu Nadir – Ahzab – Banu Qurayza – Hudaibiyah – Khaibar – Mu'tah – Makkah – Hunain – Autas – Ta'if – Tabuk
Perang Badar (Arab: غزوة بدر), dijuang 17 Mac 624 M (17 Ramadhan 2 H dalam takwim Islam) di Hijaz dari barat Semenanjung Arab (Arab Saudi masa-kini), merupakan pertempuran penting dalam zaman awal Islam dan merupakan pemusingan dalam perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. dengan pihak lawannya di kalangan Quraisy[1] di Makkah.
Pertempuran ini telah diteruskan dalam Sejarah Islam sebagai kemenangan muktamad disebabkan campur tangan Ketuhanan atau kepintaran Nabi Muhammad s.a.w.
Walaupun ia salah satu dari sedikit pertempuran yang disebut khusus dalam kitab suci Islam, Al-Qur'an, hampir kesemua pengetahuan kontemporari dari perang di Badar berasal dari keterangan tradisional Islam, kedua-dua hadis dan biografi Nabi Muhammad s.a.w., ditulis berdekad selepas pertempuran tersebut.
Sebelum pertempuran tersebut, telah berlaku beberapa pertempuran kecil Muslim dan Makkah pada lewat 623 dan awal 624, laksana ghazawāt Muslim telah menjadi lebih kerap.
Badar, bagaimanapun merupakan penglibatan skala-besar pertama antara dua pihak. Bermara kepada posisi bertahan, sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang berdisiplin dengan baik berjaya memecahkan barisan puak Makkah, membunuh beberapa ketua Quraisy termasuklah antagonis utama Nabi Muhammad s.a.w., 'Amr ibn Hisham. Untuk Muslim awal, pertempuran ini amat penting kerana ia merupakan tanda pertama bahawa mereka mungkin akhirnya mengalahkan musuh mereka di Makkah. Makkah pada masa itu merupakan salah satu dari kota Jahiliyah yang paling kaya dan paling berkuasa di Semenanjung Arab, yang menghantar sepasukan tentera tiga kali lebih besar dari pihak Muslimin.
Kemenangan Muslim juga mengisyaratkan suku lain bahawa kuasa baru telah bangkit di Semenanjung Arab dan menguatkan kuasa Nabi Muhammad s.a.w. sebagai ketua dari yang kerapkali dengan komuniti mudah berpecah di Madinah. Suku Arab tempatan mula memeluk Islam dan berpakat diri mereka dengan Muslim dari Madinah; demikian,
perkembangan Islam bermula.
Perang Badar ( bagian ke-1 )
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mendapat berita bahwa kafilah dagang dari kaum kafir Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan tidak lama lagi akan melintas dari perjalanan mereka pulang dari negeri Syam. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan kaum muslimin dan kemudian bersabda, “Aku telah mendapatkan berita bahwa kafilah Abu Sufyan tidak lama lagi akan melintas dari Syam.
Mereka pasti membawa harta yang cukup banyak. Apakah kalian setuju jika kita hadang mereka? Insya Allah, Allah akan memberikan kita kekuatan untuk mengambil harta rampasan dari mereka.” Para sahabat menja¬wab, “Ya, kami setuju wahai Rasulullah.”
Berangkatlah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersama sebagian kaum muslimin. Sengaja Rasulullah tidak mengajak seluruh kaum muslimin untuk pergi berperang. Beliau hanya mengajak orang-orang yang hadir di hadapan beliau waktu itu. Bahkan, beliau saat itu sempat tidak mengizinkan orang-orang dari dataran tinggi Madinah untuk datang ke perkumpulan itu. Maka dari itu, beliau pun juga tidak mencela siapa saja yang tidak hadir dan tidak mengikuti peperangan ini.”
Jumlah kekuatan kaum muslimin saat itu adalah 313 orang. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin 82 atau 86 orang, Bani Aus 61 orang, dan kalangan Khazraj 170 orang. Mereka berja¬lan dengan hanya membawa 2 kuda dan 70 unta. Maka, setiap dua orang atau tiga saling bergantian dalam mengendarai satu unta.
Ketika Abu Sufyan menyadari akan bahaya yang mengintai rombongannya, ia mengutus Dhamdham ibn Amru al-Ghaffari agar pulang ke Mekah untuk meminta bala bantuan dari bangsa Quraisy. Dhamdham pun segera pergi ke Mekah.
Sesampainya di Mekah, ia merobek pakaiannya dan kemudian berteriak, “Wahai orang-orang Quraisy! Celaka, celaka! Harta kalian yang ada di Abu Sufyan sedang diintai Muhammad dan para sahabatnya. Aku tidak yakin kalian akan mendapatkannya kembali, maka selamatkanlah, selamatkanlah mereka!”
Orang-orang Quraisy pun bergegas berangkat pergi untuk membantu kafilah mereka. Di samping itu, mereka juga ingin bertemu secara langsung dengan kaum muslimin dalam sebuah pertempuran. Mereka berharap, bahwa pertempuran kali itu akan menyudahi, kekuatan kaum muslimin yang selama ini selalu merintangi jalur perdagangan mereka. Tidak ada satu pun para pembesar bangsa Quraisy yang tidak ikut dalam penyerbuan kali itu selain Abu Lahab. Namun, ia telah mengutus Ash ibn Hisyam untuk menggantikan posisinya. Ash melakukan hal tersebut sebagai ganti dari hutang yang dimilikinya yang berjumlah sekitar 4.000 dirham. Selain Abu Lahab, tidak ada satu pun keturunan bangsa Quraisy yang tidak hadir dalam peperangan tersebut kecuali Bani Adi.
Jumlah mereka mencapai 1.300 orang. Mereka membawa 100 tentara berkuda, 600 tentara berbaju besi, dan sejumlah unta yang sangat banyak jumlahnya. Pasukan bangsa Quraisy ini dipimpin oleh Abu Jahal.
Ketika merasa khawatir dengan ancaman Bani Bakar yang akan melakukan tindakan makar karena permusuhan suku ini terhadap bangsa Quraisy selama ini, kaum Quraisy hampir saja kembali ke Mekah dan mengurungkan niat mereka. Akan tetapi, tiba-tiba Iblis muncul dengan menyamar sebagai Suraqah ibn Malik al-Madlaji, pemimpin Bani Kinanah. Ia berkata kepada orang-orang Quraisy, “Aku adalah pendukung kalian dari Bani Kinanah. Dan aku menjamin tidak akan ada serangan apapun terhadap kalian dari Bani Kinanah.” Lalu, Mereka pun dengan mantap meninggalkan kota Mekah sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung-kampung dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia, serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 47)
Alkisah, tiga hari sebelum kedatangan Dhamdham ibn Amru di Mekah untuk menyampaikan pesan Abu Sufyan, Atikah binti Abdul Muthalib telah memimpikan peristiwa tersebut. Ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki datang dengan menunggang untanya. Kemudian, ia berdiri di sebuah lembah yang sangat luas dan berkata, ‘Wahai ahli Badar, berangkatlah untuk berperang selama tiga hari.”
Lalu ia menceritakan mimpi itu sebagaimana berikut: Aku melihat orang itu mengambil sebongkah batu besar dan menjatuhkannya dari puncak gunung. Maka, batu itupun meluncur ke bawah hingga hancur berkeping-keping. Akibatnya, setiap rumah atau bangunan yang kemasukan oleh kepingannya pun hancur.
Abu Sufyan selalu teringat dengan berbagai bahaya yang berulang kali akan dilancarkan kaum muslimin terhadap dirinya. Karena itu, ketika kafilahnya sudah hampir mendekati Badar, ia menemui Majdi ibn Amru dan menanyakan keberadaan pasukan Rasulullah. Majdi mengatakan, bahwa dirinya baru saja melihat dua orang pengendara unta menderumkan kedua untanya di atas anak bukit. Lalu, keduanya menuangkan air ke tempat minum mereka dan kemudian pergi lagi.
Maka, Abu Sufyan bergegas mendatangi tempat menderumnya kedua unta mereka dan mengambil kotoran keduanya. Lalu, ia meremukkannya hingga mengetahui bahwa kedua unta itu berasal dari Madinah. Lantas, dengan cepat Abu Sufyan mengalihkan rombongannya dari jalan utama yang biasa mereka lalui dan terletak di sebelah kiri Badar.
Kemudian, ia membawa kafilahnya menyusuri jalan di tepi pantai yang berada di bagian Barat. Walhasil, akhirnya ia selamat dari bahaya yang mengancamnya. Setelah itu, ia mengirim surat susulan kepada pasukan bangsa Quraisy yang tengah berada di Juhfah. Di dalam surat itu, ia memberitahukan keselamatannya dan mempersilahkan mereka untuk kembali ke Mekah.
Pasukan kaum kafir Mekah pun bersiap-siap untuk kembali. Akan tetapi, Abu Jahal menolak langkah itu. “Demi tuhan! Kita tidak boleh pulang sebelum kita sampai di Badar dan menetap di sana selama tiga hari. Kita akan menyembelih kambing, makan, minum khamr, dan dihibur oleh para penyanyi wanita. Ini, kita lakukan agar orang¬-orang Arab (kaum muslimin) mengetahui keberadaan, arah perjalanan, dan tujuan kita, sehingga mereka tidak berani lagi mengusik kita selamanya. “
Seluruh pasukan Mekah mengikuti perintah Abu Jahal tersebut, kecuali Akhnas ibn Syariq. Ia bersama kaumnya dari Bani Zahrah kembali ke Mekah. Selain Akhnas, Ali ibn Abi Thalib juga ikut kembali ke Mekah. Lalu, bangsa Quraisy terus berjalan sampai mendekati wilayah Badar. Tepatnya, di balik bukit pasir pada bagian bibir lembah paling jauh, sampai ke bagian lembah Badar.
Ketika kedatangan pasukan Quraisy di Badar ini sampai ke telinga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau berunding dengan para sahabatnya tentang langkah apa yang harus mereka lakukan. Ternyata, salah satu kelompok dari pasukan kaum muslimin merasa khawatir bahwa mereka belum siap menghadapi perang sebesar itu. Karena, menurut mereka ini, kekuatan kaum muslimin belum memiliki kemampuan dan perbekalan yang cukup untuk menghadapi perang tersebut. Demikianlah, mereka terus mendebat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu dengan kebenaran sesudah nyata ( bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS. Al-Anfal: 5-6) untuk meyakinkan pandangan mereka terhadap beliau. Maka dari itu, Allah berfirman, Kemudian, para pemimpin pasukan Muhajirin angkat bicara. Mereka mendukung pendapat yang menyatakan mereka harus tetap berangkat bertempur menyerang kaum Quraisy. Pendapat ini terlontar dari Abu Bakar, Umar, dan Miqdad ibn Amr. Salah satu perkataan Miqdad adalah, “Rasulullah, laksanakan apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu, kami akan selalu menyertaimu. Demi Allah, kami tidak akan mengulangi perkataan Bani Israel kepada Musa, ‘Berpe¬ranglah kamu dan Tuhanmu, karena kami akan tetap diam di sini!’ Sungguh, kami hanya akan berkata, ‘Pergilah kamu dan Tuhanmu, dan sesungguhnya para pasukan perang telah bersiap menyertai kalian berdua! Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, seandainya kamu membawa kami ke sebuah tempat yang tertutup (telah dikepung musuh) pun, niscaya kami akan tetap berperang bersamamu tanpa memperdulikan mereka semua.”
Ucapan Miqdad tersebut membuat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahagia. Setelah mendengar pernyataan beberapa pemimpin pasukan kaum Muhajirin, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai orang-orang, siapa lagi yang akan melontarkan pendapatnya kepadaku?” Pertanyaan ini Rasulullah maksudkan untuk memancing pendapat dan pandangan dari para pemimpin pasukan Anshar. Sebab, mereka adalah bagian terbesar dari tentara Islam waktu itu.
Lantas, Sa’ad ibn Muadz-pembawa bendera Anshar-pun angkat suara. Ia memahami maksud perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Maka, ia pun segera bangkit dan berkata, “Demi Allah, benarkah yang engkau maksudkan adalah kami?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Benar.” Maka Sa’ad berkata, “Kami telah beriman kepadamu, sehingga kami akan selalu membenarkanmu. Dan kami bersaksi bahwa ajaran yang engkau bawa adalah benar.
Karena itu, kami berjanji untuk selalu mentaati dan mendengarkan perintahmu. Berangkatlah wahai Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam, jika itu yang engkau kehendaki. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan nilai-nilai kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu. Sungguh, tidak akan ada satu pun tentara kami yang akan tertinggal dan kami tidak takut sedikit pun kalau memang engkau memper¬temukan kami dengan musuh-musuh kami esok hari. Sesungguhnya, kami adalah orang-orang yang terbiasa hidup dalam peperangan dan melakukan pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu berbagai hal dari kami yang dapat memberikan kebahagiaan bagimu. Maka, marilah kita berjalan menuju berkah Allah.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam merasa bahagia dengan ucapan Sa’ad tersebut hingga beliau semakin bersemangat. Kemudian, beliau berkata, “Berjalanlah kalian menuju medan perang dan beritahukan berita gembira ini. Karena, Allah telah menjanjikan kepadaku akan memberi salah satu dari kedua belah pihak. Demi Allah, sekarang ini aku seperti melihat tempat kekalahan kaum Quraisy.” Lalu, mereka pun berangkat.
Oleh: Ust. H. Dave Ariant Yusuf
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mendapat berita bahwa kafilah dagang dari kaum kafir Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan tidak lama lagi akan melintas dari perjalanan mereka pulang dari negeri Syam. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan kaum muslimin dan kemudian bersabda, “Aku telah mendapatkan berita bahwa kafilah Abu Sufyan tidak lama lagi akan melintas dari Syam.
Mereka pasti membawa harta yang cukup banyak. Apakah kalian setuju jika kita hadang mereka? Insya Allah, Allah akan memberikan kita kekuatan untuk mengambil harta rampasan dari mereka.” Para sahabat menja¬wab, “Ya, kami setuju wahai Rasulullah.”
Berangkatlah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersama sebagian kaum muslimin. Sengaja Rasulullah tidak mengajak seluruh kaum muslimin untuk pergi berperang. Beliau hanya mengajak orang-orang yang hadir di hadapan beliau waktu itu. Bahkan, beliau saat itu sempat tidak mengizinkan orang-orang dari dataran tinggi Madinah untuk datang ke perkumpulan itu. Maka dari itu, beliau pun juga tidak mencela siapa saja yang tidak hadir dan tidak mengikuti peperangan ini.”
Jumlah kekuatan kaum muslimin saat itu adalah 313 orang. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin 82 atau 86 orang, Bani Aus 61 orang, dan kalangan Khazraj 170 orang. Mereka berja¬lan dengan hanya membawa 2 kuda dan 70 unta. Maka, setiap dua orang atau tiga saling bergantian dalam mengendarai satu unta.
Ketika Abu Sufyan menyadari akan bahaya yang mengintai rombongannya, ia mengutus Dhamdham ibn Amru al-Ghaffari agar pulang ke Mekah untuk meminta bala bantuan dari bangsa Quraisy. Dhamdham pun segera pergi ke Mekah.
Sesampainya di Mekah, ia merobek pakaiannya dan kemudian berteriak, “Wahai orang-orang Quraisy! Celaka, celaka! Harta kalian yang ada di Abu Sufyan sedang diintai Muhammad dan para sahabatnya. Aku tidak yakin kalian akan mendapatkannya kembali, maka selamatkanlah, selamatkanlah mereka!”
Orang-orang Quraisy pun bergegas berangkat pergi untuk membantu kafilah mereka. Di samping itu, mereka juga ingin bertemu secara langsung dengan kaum muslimin dalam sebuah pertempuran. Mereka berharap, bahwa pertempuran kali itu akan menyudahi, kekuatan kaum muslimin yang selama ini selalu merintangi jalur perdagangan mereka. Tidak ada satu pun para pembesar bangsa Quraisy yang tidak ikut dalam penyerbuan kali itu selain Abu Lahab. Namun, ia telah mengutus Ash ibn Hisyam untuk menggantikan posisinya. Ash melakukan hal tersebut sebagai ganti dari hutang yang dimilikinya yang berjumlah sekitar 4.000 dirham. Selain Abu Lahab, tidak ada satu pun keturunan bangsa Quraisy yang tidak hadir dalam peperangan tersebut kecuali Bani Adi.
Jumlah mereka mencapai 1.300 orang. Mereka membawa 100 tentara berkuda, 600 tentara berbaju besi, dan sejumlah unta yang sangat banyak jumlahnya. Pasukan bangsa Quraisy ini dipimpin oleh Abu Jahal.
Ketika merasa khawatir dengan ancaman Bani Bakar yang akan melakukan tindakan makar karena permusuhan suku ini terhadap bangsa Quraisy selama ini, kaum Quraisy hampir saja kembali ke Mekah dan mengurungkan niat mereka. Akan tetapi, tiba-tiba Iblis muncul dengan menyamar sebagai Suraqah ibn Malik al-Madlaji, pemimpin Bani Kinanah. Ia berkata kepada orang-orang Quraisy, “Aku adalah pendukung kalian dari Bani Kinanah. Dan aku menjamin tidak akan ada serangan apapun terhadap kalian dari Bani Kinanah.” Lalu, Mereka pun dengan mantap meninggalkan kota Mekah sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung-kampung dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia, serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 47)
Alkisah, tiga hari sebelum kedatangan Dhamdham ibn Amru di Mekah untuk menyampaikan pesan Abu Sufyan, Atikah binti Abdul Muthalib telah memimpikan peristiwa tersebut. Ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki datang dengan menunggang untanya. Kemudian, ia berdiri di sebuah lembah yang sangat luas dan berkata, ‘Wahai ahli Badar, berangkatlah untuk berperang selama tiga hari.”
Lalu ia menceritakan mimpi itu sebagaimana berikut: Aku melihat orang itu mengambil sebongkah batu besar dan menjatuhkannya dari puncak gunung. Maka, batu itupun meluncur ke bawah hingga hancur berkeping-keping. Akibatnya, setiap rumah atau bangunan yang kemasukan oleh kepingannya pun hancur.
Abu Sufyan selalu teringat dengan berbagai bahaya yang berulang kali akan dilancarkan kaum muslimin terhadap dirinya. Karena itu, ketika kafilahnya sudah hampir mendekati Badar, ia menemui Majdi ibn Amru dan menanyakan keberadaan pasukan Rasulullah. Majdi mengatakan, bahwa dirinya baru saja melihat dua orang pengendara unta menderumkan kedua untanya di atas anak bukit. Lalu, keduanya menuangkan air ke tempat minum mereka dan kemudian pergi lagi.
Maka, Abu Sufyan bergegas mendatangi tempat menderumnya kedua unta mereka dan mengambil kotoran keduanya. Lalu, ia meremukkannya hingga mengetahui bahwa kedua unta itu berasal dari Madinah. Lantas, dengan cepat Abu Sufyan mengalihkan rombongannya dari jalan utama yang biasa mereka lalui dan terletak di sebelah kiri Badar. Kemudian, ia membawa kafilahnya menyusuri jalan di tepi pantai yang berada di bagian Barat. Walhasil, akhirnya ia selamat dari bahaya yang mengancamnya. Setelah itu, ia mengirim surat susulan kepada pasukan bangsa Quraisy yang tengah berada di Juhfah. Di dalam surat itu, ia memberitahukan keselamatannya dan mempersilahkan mereka untuk kembali ke Mekah.
Pasukan kaum kafir Mekah pun bersiap-siap untuk kembali. Akan tetapi, Abu Jahal menolak langkah itu. “Demi tuhan! Kita tidak boleh pulang sebelum kita sampai di Badar dan menetap di sana selama tiga hari. Kita akan menyembelih kambing, makan, minum khamr, dan dihibur oleh para penyanyi wanita. Ini, kita lakukan agar orang¬-orang Arab (kaum muslimin) mengetahui keberadaan, arah perjalanan, dan tujuan kita, sehingga mereka tidak berani lagi mengusik kita selamanya. “
Seluruh pasukan Mekah mengikuti perintah Abu Jahal tersebut, kecuali Akhnas ibn Syariq. Ia bersama kaumnya dari Bani Zahrah kembali ke Mekah. Selain Akhnas, Ali ibn Abi Thalib juga ikut kembali ke Mekah. Lalu, bangsa Quraisy terus berjalan sampai mendekati wilayah Badar. Tepatnya, di balik bukit pasir pada bagian bibir lembah paling jauh, sampai ke bagian lembah Badar.
Ketika kedatangan pasukan Quraisy di Badar ini sampai ke telinga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau berunding dengan para sahabatnya tentang langkah apa yang harus mereka lakukan. Ternyata, salah satu kelompok dari pasukan kaum muslimin merasa khawatir bahwa mereka belum siap menghadapi perang sebesar itu. Karena, menurut mereka ini, kekuatan kaum muslimin belum memiliki kemampuan dan perbekalan yang cukup untuk menghadapi perang tersebut. Demikianlah, mereka terus mendebat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu dengan kebenaran sesudah nyata ( bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS. Al-Anfal: 5-6) untuk meyakinkan pandangan mereka terhadap beliau. Maka dari itu, Allah berfirman, Kemudian, para pemimpin pasukan Muhajirin angkat bicara. Mereka mendukung pendapat yang menyatakan mereka harus tetap berangkat bertempur menyerang kaum Quraisy. Pendapat ini terlontar dari Abu Bakar, Umar, dan Miqdad ibn Amr. Salah satu perkataan Miqdad adalah, “Rasulullah, laksanakan apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu, kami akan selalu menyertaimu. Demi Allah, kami tidak akan mengulangi perkataan Bani Israel kepada Musa, ‘Berpe¬ranglah kamu dan Tuhanmu, karena kami akan tetap diam di sini!’ Sungguh, kami hanya akan berkata, ‘Pergilah kamu dan Tuhanmu, dan sesungguhnya para pasukan perang telah bersiap menyertai kalian berdua! Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, seandainya kamu membawa kami ke sebuah tempat yang tertutup (telah dikepung musuh) pun, niscaya kami akan tetap berperang bersamamu tanpa memperdulikan mereka semua.”
Ucapan Miqdad tersebut membuat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahagia. Setelah mendengar pernyataan beberapa pemimpin pasukan kaum Muhajirin, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai orang-orang, siapa lagi yang akan melontarkan pendapatnya kepadaku?” Pertanyaan ini Rasulullah maksudkan untuk memancing pendapat dan pandangan dari para pemimpin pasukan Anshar. Sebab, mereka adalah bagian terbesar dari tentara Islam waktu itu.
Lantas, Sa’ad ibn Muadz-pembawa bendera Anshar-pun angkat suara. Ia memahami maksud perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Maka, ia pun segera bangkit dan berkata, “Demi Allah, benarkah yang engkau maksudkan adalah kami?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Benar.” Maka Sa’ad berkata, “Kami telah beriman kepadamu, sehingga kami akan selalu membenarkanmu. Dan kami bersaksi bahwa ajaran yang engkau bawa adalah benar.
Karena itu, kami berjanji untuk selalu mentaati dan mendengarkan perintahmu. Berangkatlah wahai Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam, jika itu yang engkau kehendaki. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan nilai-nilai kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu. Sungguh, tidak akan ada satu pun tentara kami yang akan tertinggal dan kami tidak takut sedikit pun kalau memang engkau memper¬temukan kami dengan musuh-musuh kami esok hari. Sesungguhnya, kami adalah orang-orang yang terbiasa hidup dalam peperangan dan melakukan pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu berbagai hal dari kami yang dapat memberikan kebahagiaan bagimu. Maka, marilah kita berjalan menuju berkah Allah.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam merasa bahagia dengan ucapan Sa’ad tersebut hingga beliau semakin bersemangat. Kemudian, beliau berkata, “Berjalanlah kalian menuju medan perang dan beritahukan berita gembira ini. Karena, Allah telah menjanjikan kepadaku akan memberi salah satu dari kedua belah pihak. Demi Allah, sekarang ini aku seperti melihat tempat kekalahan kaum Quraisy.” Lalu, mereka pun berangkat.
Perang Badar ( bagian ke-3 )
Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy juga ikut serta dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari kalangan intelektual Quraisy merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu yang akan terbunuh, sehingga Mekkah sendiri nanti akan kehilangan arti.
Kendatipun demikian mereka masih takut kepada Abu Jahal yang begitu keras, juga mereka takut dituduh pengecut dan penakut. Tiba-tiba tampil ‘Utba bin Rabi’a ke hadapan mereka sambil berkata, “Saudara-saudara kaum Quraisy, apa yang tuan-tuan lakukan hendak memerangi Muhammad dan kawan-kawannya itu, sebenarnya tak ada gunanya.
Kalau dia sampai binasa karena tuan-tuan, masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan sendiri yang akan melihat, bahwa yang terbunuh itu adalah saudara sepupunya, dari pihak bapak atau pihak ibu, atau siapa saja dari keluarganya. Kembali sajalah dan biarkan Muhammad dengan teman-temannya itu.
Kalau dia binasa karena pihak lain, mungkin itulah yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi kalau bukan itu yang terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak kita inginkan.”
Mendengar kata-kata ‘Utba, Abu Jahal naik darah. Ia segera memanggil ‘Amir bin’l-Hadzrami dengan mengatakan, “Temanmu ini ingin supaya orang pulang. Kamu sudah melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang harus dituntut balas. Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap saudaramu Amr bin’l-Hadzrami yang tewas ditangan Abdullah bin Jahsy!”
Amir segera bangkit dan berteriak, “Wahai saudaraku! Tak ada jalan lain, mesti perang!”
Dengan dipercepatnya pertempuran itu Aswad bin ‘Abd’l-Asad keluar dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke tengah-tengah barisan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat. Tetapi ketika itu juga Hamzah bin Abd’l-Mutthalib segera menyambutnya dengan satu pukulan yang mengenai kakinya, sehingga ia tersungkur dengan kaki berlumuran darah. Sekali lagi Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata pedang memang tak ada yang tampak lebih tajam daripada darah. Juga tak ada sesuatu yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa manusia daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang teman-temannya berdiri menyaksikan.
Begitu melihat Aswad jatuh, maka tampillah ‘Utba bin Rabi’a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan Walid bin ‘Utba anaknya, sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu disambut oleh pemuda-pemuda dari Madinah. Tetapi setelah melihat pemuda-pemuda Madinah ini, ia berkata, “Kami tidak memerlukan kalian! Yang kami inginkan ialah orang-orang Quraisy yang telah menjadi pengikut Muhammad!”
Lalu dari mereka memanggil-manggil, “Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari golongan Quraisy itu tampil!”
Ketika itu juga yang tampil menghadapi mereka adalah Hamzah bin Abd’l-Mutthalib, Ali bin Abi Thalib dan ‘Ubaida bin’l-Harith. Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba, juga Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid, keduanya langsung menebas leher musuh mereka itu hingga tewas. Lalu keduanya segera membantu ‘Ubaida yang kini sedang diterkam oleh ‘Utba.
Setelah Quraisy melihat kenyataan ini mereka semua maju menyerbu. Pada pagi Jum’at 17 Ramadhan itulah kedua pasukan itu berhadap-hadapan muka. Sekarang Rasulullah sendiri yang tampil memimpin kaum Muslimin, mengatur barisan. Tetapi ketika beliau melihat pasukan Quraisy begitu besar, sedang pasukan Muslimin sedikit sekali, selain itu perlengkapan yang sangat minim dibanding dengan perlengkapan Quraisy, beliau ia kembali ke kemah ditemani oleh Abu Bakar. Sungguh Rasulullah cemas pada peristiwa yang akan terjadi hari itu, sungguh pilu hati beliau melihat nasib yang akan menimpa Islam sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat kemenangan.
Rasulullah kini menghadapkan diri kepada Allah dengan segenap jiwanya, beliau membisikkan kegelisahannya kepada Allah dan menagih apa yang telah Allah janjikan kepadanya Rasul-Nya berupa pertolongan dan kemenangan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa, dalam permohonan, sambil berkata:
“Ya Allah. Sekarang kaum Quraisy telah datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, kami memohon pertolongan-Mu juga yang telah Kau-janjikan kepadaku. Ya Allah, jika sekarang ini pasukan Muslimin binasa, tidak ada lagi orang yang menyembah-Mu”.
Sementara Rasulullah masih hanyut dalam doa kepada Allah, mantelnya terjatuh. Ketika itu Abu Bakar lalu meletakkan mantel itu kembali ke bahunya, sambil ia berkata, “Wahai Rasulullah, dengan doamu itu Allah akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”
Tetapi Rasulullah makin terbawa dalam tawajjuh kepada Allah. Dengan penuh khusyu’ dan kesungguhan hati beliau terus memanjatkan doa, memohonkan isyarat dan pertolongan Allah dalam menghadapi peristiwa yang oleh kaum Muslimin sama sekali tidak diharapkan, untuk itu tidak pula mereka punya persiapan. Hingga Rasulullah pun terangguk dalam keadaan mengantuk. Dalam pada itu tampak oleh beliau pertolongan Allah itu benar adanya. Ia sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.
Sekarang Rasulullah keluar menemui para sahabat, lalu beliau bersabda, “Demi Allah. Setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.”
Jiwa Rasulullah yang telah diberikan oleh Allah begitu kuat melampaui segala kekuatan, telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Kekuatan orang-orang yang beriman itu sudah melampaui semangat mereka sendiri, sehingga setiap orang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama dengan sepuluh orang. Allah pun menurunkan firman-Nya,
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang iman itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang tabah diantara kalian, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang tabah diantara kalian, mereka dapat mengalahkan seribu orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepada kalian dan telah mengetahui bahwa ada kelemahan pada kalian. Maka jika ada diantara kalian seratus orang yang tabah, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika diantara kalian ada seribu orang yang tabah, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seijin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. Q:S 8:65-66
Keadaan Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Rasulullah membangkitkan semangat mereka, turut hadir di tengah-tengah mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap musuh.
Rasulullah menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang telah teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Dalam hal ini kaum Muslimin mengarahkan perhatiannya pada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Mereka hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala mereka disiksa di Mekkah dulu, dirintangi memasuki Masjid Suci dan berjuang untuk Allah. Bilal melihat Umayya bin Khalaf dan anaknya, begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang dikenalnya di Mekkah dulu. Umayya ini adalah orang yang pernah menyiksa Bilal dulu, ketika ia dibawanya ketengah-tengah padang pasir yang paling panas di Mekkah. Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu ditindihkannya batu besar di dadanya, dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya berkata, “ Ahad, Ahad. Yang Satu, Yang Satu.”
Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata, “Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!”
Beberapa orang dari kalangan Muslimin mengelilingi Umayya dengan tujuan jangan sampai ia terbunuh dan akan dibawanya sebagai tawanan. Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu berteriak sekeras-kerasnya, “Demi Allah! Wahai Umayya bin Khalaf kepala kafir. Aku takkan selamat jika kau lolos!”.
Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilal tak dapat diredakan lagi, dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu’adh bin ‘Amr bin Jamuh juga dapat menewaskan Abu Jahal bin Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan pejuang-pejuang Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah pertempuran sengit itu. Mereka sudah lupa akan dirinya masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya yang hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.
Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi udara. Kepala-kepala ketika itu sudah lepas berjatuhan dari tubuh Quraisy. Berkat iman yang teguh keadaan Muslimin bertambah kuat juga. Dengan gembira mereka berseru, “Ahad! Ahad!”. Di hadapan mereka kini terbuka tabir ruang dan waktu, sebagai bantuan Allah kepada mereka dengan para malaikat yang memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh, sehingga bila salah seorang dari mereka mengangkat pedang dan mengayunkannya ke leher musuh, seolah-olah tangan mereka digerakkan dengan kekuatan Allah.
Di tengah-tengah medan pertempuran yang sedang sibuk dikunjungi malaikat maut memunguti leher orang-orang kafir itu, Rasulullah berdiri, diambilnya segenggam pasir, lalu dihadapkannya kepada pasukan Quraisy. “Celakalah wajah-wajah mereka itu!” kata Rasulullah sambil menaburkan pasir itu kearah mereka.
Para sahabat lalu diberi komando, “Serbu!”
(bersambung)
Serentak pihak Muslimin menyerbu ke depan, masih dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah kafir Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Allah SWT.
Sudah bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan tawanan perang. Hanya karena adanya semangat dari Allah yang tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan moril mereka bertambah.
Dalam hal ini firman Allah turun:
“(Ingatlah), ketika Tuhan kalian mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Akan kutanamkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (QS. 8: 12)
“Maka (yang sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka, melainkan Allahlah yang telah membunuh mereka, dan bukan kalian yang melempar ketika kalian melempar, tetapi Allahlah yang melempar..” (QS. 8: 17)
Tatkala Rasulullah melihat bahwa Allah telah melaksanakan janjiNya dan setelah kemenangan berada di pihak Muslimin, beliau kembali ke pondoknya. Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.
Dengan perasaan dongkol kafir Quraisy lari tunggang langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri, karena rasa malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang telah menimpa mereka semua.
Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badar. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan sebuah lubang besar, mereka semua dikuburkan. Malam harinya Rasulullah dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang tawanan. Tatkala malam sudah gelap Rasulullah mulai merenungkan pertolongan yang diberikan Allah kepada Muslimin yang dengan jumlah begitu kecil telah dapat menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja. Pada waktu itu para sahabat mendengar Rasulullah berkata,
“Wahai ‘Utba bin Rabi’a! Syaiba bin Rabi’a! Umayya bin Khalaf! Wahai Abu Jahal bin Hisyam! ” – Seterusnya Rasulullah menyebutkan nama orang-orang yang dikubur di dalam lubang besar itu satu per satu -
“Wahai mayat-mayat kafir! Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku.”
“Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah mati?” tanya kaum Muslimim.
“Mereka lebih mendengar apa yang aku katakan daripada kalian” jawab Rasul. “Tetapi mereka tidak dapat menjawab.”
Ketika itu Rasulullah memandang wajah Abu Hudhaifa ibn ‘Utba. Ia tampak sedih dan murung.
”Barangkali ada sesuatu yang kau pikirkan mengenai ayahmu, wahai Abu Hudhaifa”? tanya Rasulullah.
“Tidak, wahai Rasulullah,” jawab Abu Hudhaifa. “Tentang ayah, aku tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya. Hanya saja menurutku ayahku adalah orang yang pikirannya baik, bijaksana dan berjasa. Jadi aku sangat berharap ia akan mendapat petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi setelah aku lihat apa yang terjadi, dan teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran, maka makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya sedih.”
Keesokan harinya, ketika Muslimin sudah siap-siap akan berangkat pulang ke Madinah, mulailah timbul pertanyaan sekitar masalah harta rampasan, untuk siapa seharusnya diberikan. Menurut pendapat Muslimin yang terjun langsung bertempur melawan kafir Quraisy, “Kami yang mengumpulkannya, jadi harta rampasan itu adalah hak kami”. Sedangkan menurut Muslimin yang bertempur di garis depan dan mengejar musuh hingga merampas langsung harta mereka, “Kalau tidak karena kami, kalian tidak akan mendapatkannya, jadi kamilah yang lebih berhak atas harta rampasan itu”. Sementara Muslimin yang selalu mengawal dan melindungi Rasulullah karena dikuatirkan adanya serangan musuh dari belakang berpendapat, “Kalian semua tidak ada yang lebih berhak atas harta rampasan itu daripada kami, karena sebenarnya kami pun bisa langsung terjun memerangi musuh dan merampas harta mereka, tetapi kami kuatir adanya serangan musuh kepada Rasulullah, oleh karena itu kami lalu bertugas menjaga Rasulullah.
Ditengah perbedaan pendapat itu kemudian Rasulullah menyuruh mengembalikan semua harta rampasan yang ada ditangan mereka dan dikumpulkan hingga beliau yang akan memutuskan siapa yang berhak atas harta itu atau sampai ada petunjuk dari Allah SWT.
Rasulullah mengutus Abdullah bin Rawaha dan Zaid bin Haritsa berangkat terlebih dahulu ke Madinah untuk menyampaikan berita gembira tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedangkan Rasulullah bersama para sahabat menyusul berangkat ke Madinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang telah diperolehnya dari kafir Quraisy.
Mereka pun berangkat. Setelah sampai di kawasan Shafra’, diatas sebuah bukit pasir Rasulullah berhenti. Di tempat inilah Rasulullah mendapat petunjuk dari Allah mengenai rampasan perang. Allah berfirman, “
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam perjalanan, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari yang menentukan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. 8: 41)
Setelah rampasan perang itu diambil seperlima untuk sabilillah, sisa yang empat perlimanya dibagi secara merata di kalangan Muslimin yang ikut berperang, bagian mereka yang gugur di Badar diberikan kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Madinah dan tidak ikut ke Badar karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan berangkat ke Badar tapi tertinggal di belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan perang itu dibagi secara adil. Muslimin yang mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan siapa saja yang ikut bekerja kearah itu, baik yang di garis depan atau yang jauh dari sana.
Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke Madinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr bin’l-Harits dan yang seorang lagi bernama ‘Uqba bin Abi Mu’ait. Sampai saat itu baik Rasulullah maupun para sahabat belum membuat suatu peraturan tertentu tentang para tawanan itu, apakah akan dibunuh, di minta tebusan pada orang-orang Quraisy atau dijadikan budak. Sementara Nadzr dan ‘Uqba ini keduanya merupakan bahaya yang selalu mengancam Muslimin selama di Mekkah dulu. Setiap ada kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu kaum Muslimin.
Terbunuhnya Nadzr ini ialah ketika sampai di wilayah Uthail para tawanan itu diperlihatkan kepada Rasulullah. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang sedemikian rupa, hingga tawanan ini gemetar seraya berkata kepada seseorang yang berada di sampingnya,
“Muhammad pasti akan membunuhku,” katanya. “Ia menatapku dengan pandangan mata yang mengandung maut.”
“Itu hanya karena kau merasa takut saja,” jawab orang yang di sebelahnya.
Nadzr pun berkata kepada Mush’ab bin ‘Umair, Muslimin yang ia anggap paling banyak punya rasa belas-kasihan, “Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan membunuhku.”
“Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang Kitabullah dan tentang diri Rasulullah,” kata Mush’ab, “Dulu kau menyiksa para sahabat Rasul.”
“Wahai Mushab, andaikan kau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan dibunuh selama aku masih hidup,” kata Nadzr lagi merayu.
“Kau tak bisa dipercaya,” kata Mush’ab. “Dan lagi aku tidak sepertimu. Janji Islam denganmu sudah terputus.”
Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini Miqdad ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dari keluarganya. Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya Nadzr, Miqdad segera berteriak, “Nadzr tawananku..!,”.
“Penggal lehernya,” kata Rasulullah, “Ya Allah..Semoga Miqdad mendapat karuniaMu.”
Ali bin Abi Thalib pun mengayunkan pedangnya, maka tewaslah Nadzr bin-l Harits.
Ketika mereka telah sampai di ‘Irq’z-Zubya Rasulullah memerintahkan agar ‘Uqba bin Abi Mu’ait juga dibunuh.
Sehari sebelum Rasulullah dan Muslimin sampai di Madinah kedua utusan beliau Zaid bin Haritsa dan Abdullah bin Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berbeda. Dari atas unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada kaum Anshar penduduk Madinah tentang kemenangan Rasulullah dan para sahabat, sambil menyebutkan siapa-siapa dari pihak kafir Quraisy yang terbunuh. Begitu juga Zaid bin Haritsa melakukan hal yang sama sambil menunggang Al-Qashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, sedangkan mereka yang masih berada di dalam rumah pun berhamburan keluar menyambut berita kemenangan besar ini.
TAMAT
Oleh: Ust.H.Dave Ariant Yusuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar